Japan Trip - Edisi Mencari Teman Perjalanan
7:46 AM
Kami
berjalan ribuan mil jauhnya dari tanah kelahiran, hanya untuk saling menemukan - anggiani_dini
***
Udara
dingin musim semi menyambut kedatangan kami di Bandara Kansai. Wajah-wajah
oriental khas Jepang yang selama ini hanya kami lihat di media, berseliweran di
mana-mana. Mereka begitu dekat. Mereka begitu nyata. Senyata jejak kaki kami
yang melangkah di aspal Osaka. Senyata hembusan angin musim semi yang dingin
dan kering. Senyata beban tas carrier yang
menggelayuti pundak kami. Senyata itu jarak kami dengan "pertemuan"
yang dulu hanya tercatat di diary. Di
saat semua menjadi nyata, tidak ada rasa lain selain rasa takjub luar biasa,
dan waktu menjadi dimensi yang seolah mengalami percepatan.
Diawali
percakapan acak antara saya dan Nash, seorang
teman yang dipertemukan takdir lewat trip Karimun Jawa Mei 2013 lalu,
terciptalah ide untuk melakukan perjalanan ke Jepang. Negara kepulauan di Asia
Timur ini merupakan satu dari list
“Top 10 places to be visited before you die”. Originalitas budaya dan sejarah,
karakter manusia, dan keindahan alam menjadi magnet yang menarik individu untuk
berada di sana.
Buat
saya pribadi, Jepang merupakan negara impian yang ingin dikunjungi sejak zaman
Pak Suharto masih memimpin negeri ini. Tidak ada alasan spesifik kenapa saya
ingin ke Jepang. Saya hanya ingin ke Jepang, titik! Sebuah mimpi, yang seiring
berjalannya waktu, semakin terlupakan. Realita hidup membuat impian Dini kecil
terasa mahal! Pada saat itu, pergi ke Jepang sama halnya pungguk yang
merindukan bulan, It’s too far to be
reached!
It came through a
mysterious way! From un-necessary random talk, impian
yang jaraknya seperti bumi ke bulan itu menjadi hanya tinggal sepelemparan
batu!
Saya
masih ingat potongan percakapan yang pada akhirnya membawa kami pergi ke Jepang
Mei 2014 lalu.
“Nash, ngga ada gitu tempat yang lebih jauh
dari Pulau Derawan yang mau lo datengin?”, pertanyaan asal saya kepada Nash
saat dia menceritakan rencana perjalanan ke Pulau Derawan, Kalimantan.
“Ada!”,
jawabnya singkat waktu itu.
“Kemana?”,
sesingkat itu rasa penasaran melintasi pikiran saya saat kata “Ada” muncul di
layar smartphone.
“Jepang!”
Seperti
ada sengatan listrik yang menjalari tubuh saya saat kata Jepang meluncur bebas
dari percakapan acak tersebut. Ia memberi energi kepada simpul mimpi yang
selama ini hibernasi, dan menciptakan spirit luar biasa untuk berkata, “Gue
ikut!”, meskipun setelahnya muncul beragam pertanyaan dan keraguan seperti,
“Uangnya ada, Din? Emang lo punya tabungan? Gaji lo aja pas-pas-an buat
kebutuhan bulanan, pake segala mau pergi ke Jepang! Emang bakal diizinin
nyokap-bokap?” dan sederet turunan pertanyaan lain yang menghinggapi kepala
setelah kalimat “Gue ikut” terkirim ke Nash.
In the end, here we
are! Setelah
melewati beragam macam pertanyaan dan juga keraguan, a long waited dream come true. Tiada kata yang bisa diucapkan
selain Alhamdulilah, Thank you Allah for
granting my wish.
And here are our
stories.
***
We
don’t meet people by coincidence, they are meant to cross our path for a reason
- Blinksoflife
Kami
tiba di Osaka pada tanggal 21 Mei 2014 sekitar pukul 8 pagi. Lelah yang terasa setelah
terbang lima jam dari Kuala Lumpur, menguap saat kaki menginjak Bandara Kansai.
Kami ada di Jepang dan ini bukan mimpi!
Satu
per satu penumpang pesawat Air Asia melewati garbarata, menuju bagian imigrasi.
Saya dan keempat teman trip mengekor di belakang sambil sesekali bercanda. Mata
teman-teman trip saya berbinar-binar, penuh cahaya. Cahaya mata itu sudah cukup
bercerita tentang bagaimana perasaan mereka yang sesungguhnya.
“Seandainya waktu bisa dibekukan!”, bisik
saya dalam hati, yang langsung disambut oleh sentuhan angin musim semi Osaka yang
dingin dan kering (bukan waktu yang beku, saya yang membeku J).
***
Kami,
berjalan ribuan mil jauhnya dari tanah kelahiran hanya untuk saling menemukan
potongan puzzle yang akan melengkapi
pembentukan karakter diri.
Saya
masih ingat dengan jelas bagaimana akhirnya grup trip ini terbentuk.
Setelah
Jepang dinobatkan sebagai negara Asia Timur pertama yang akan dikunjungi ala backpacker, pencarian tim pun di mulai.
Perjalanan ini terlalu sepi kalau hanya dijalani berdua saja namun terlalu
ribet kalau diikuti banyak orang. Oleh karena itu kami memutuskan untuk mencari
tim dengan jumlah yang tidak terlalu banyak, dan pastinya harus ganjil!
Kenapa
harus ganjil?
Dalam
sebuah perjalanan, pasti ada saat kritis dimana keputusan penting harus
dilakukan. Voting is the best way to make
a decision. Jumlah peserta ganjil memperkecil peluang terjadinya voting berulang, yang artinya waktu pengambilan
keputusan menjadi lebih cepat. Itulah prinsip pencarian tim yang dilontarkan
Nash dan menjadi sebuah kebiasaan dalam proses pencarian tim di perjalanan
lainnya.
Setelah
menghubungi beberapa teman terdekat, Tanzil, one of my best friend, setuju untuk ikut dalam perjalanan ini.
Tidak perlu rayuan maut untuk membuatnya mau bergabung bersama kami. Jepang
adalah satu dari list negeri impian
yang ingin dikunjungi Tanzil sebelum menuanya usia. Mission accomplished!
Di
sisi lainnya, Nash memberi kabar dua orang temannya setuju untuk ikut dalam
perjalanan ini. Irwan dan Rio, seorang Dokter & Pegawai Kantor Pajak yang kebetulan
teman dekat dari Nash. Dua orang tersebut belum pernah saya maupun Tanzil kenal.
Awalnya ada sedikit kekhawatiran mengenai “asyik” atau “tidak asyiknya”
perjalanan ini dengan kehadiran dua orang baru yang no clue seperti apa karakternya (Nash & Tanzil sudah saling
kenal di trip Karimun Jawa, Mei 2013). But
in the end, we found a new family. Sirna semua kekhawatiran diawal seiring
berjalannya waktu meski kami (seringnya) hanya dipertemukan oleh gelombang
alias grup whatsap J.
Tidak
selamanya perjalanan menjadi asyik jika dijalani bersama orang yang sudah kita
kenal baik, dan juga sebaliknya. Kita cuma butuh “cairan kimia alami” read : chemistry untuk saling terhubung
satu sama lain. Dan untuk mendapatkan chemistry
tersebut, syaratnya cuma satu - mau menerima tim dengan penerimaan yang
baik.
Dari pengalaman
trip kemarin, ada beberapa hal yang mungkin bisa jadi referensi untuk mencari
teman perjalanan. Berikut catatannya!
Referensi
Mencari Teman Perjalanan Ala Keluarga A-pes!
1.
Jumlah ideal melakukan perjalanan grup adalah 3 orang dan maksimum 5 orang.
Kenapa begitu?
· Minimal
3 orang dengan tujuan utama adanya satu orang yang bisa diandalkan sebagai
penengah saat dua orang lainnya bersitegang karena kondisi kritis.
·
Maksimum
5 orang untuk mempermudah koordinasi, makin banyak kepala makin susah melakukan
koordinasi. Hal ini sudah pernah terbukti saat kami merencanakan trip ke Pulau
Komodo. Saat itu, ada 10 orang yang bergabung di grup trip Komodo. Hasilnya
bagaimana? Trip ke pulau komodonya gagal, terlalu banyak orang, terlalu sulit
koordinasi.
2. Memenuhi syarat
utama untuk diajak dalam perjalanan grup yaitu bisa menerima satu sama lain,
susah dan senang bersama, dengan penerimaan yang baik. Ini penting karena
semakin banyak langkah kaki yang dijejakkan, semakin banyak energi yang
dikeluarkan, semakin mudah egoisme masing-masing individu muncul ke permukaan,
yang pastinya punya peluang bikin perjalanan jadi ngga asyik! So, mau menerima
dengan penerimaan yang baik is a must!
3. Jangan underestimate orang-orang yang baru di kenal dan jangan overestimate orang-orang yang sudah
dikenal lama. Tidak selamanya perjalanan menjadi asyik bersama orang yang sudah
dekat dengan kita dan sebaliknya. Just
accepting each other in a good way is the best choice!
4. Forget point 1 – point 3, just enjoy the trip :)
Tulisan Selanjutnya : Japan Trip - Edisi Berburu Tiket
Tulisan Selanjutnya : Japan Trip - Edisi Berburu Tiket
0 comments