Rekam Jejak 99 Cahaya di Langit Eropa - Cerita Balik

8:45 AM


Jum’at, 17 Agustus 2012

Perasaan haru itu menyeruak begitu saja ketika saya menyelesaikan kalimat-kalimat akhir dalam  sebuah epilog yang ditulis sepenuh hati oleh penulisnya. Indah. Bermakna. Menyentuh hati. Jika ditanya alasan mengapa haru itu muncul, saya sendiri bingung untuk menjabarkannya. Mungkin kompilasi rasa. Ya, kompilasi rasa yang dihasilkan oleh ribuan kata bermakna inilah yang tanpa sadar memunculkan haru di akhir kisah.

Seorang teman beberapa kali merekomendasikan sebuah buku kepada saya dan saat itu saya hanya berkata, “Iya, nanti kapan-kapan gue baca yah..”. Ragu dengan jawaban saya yang sekedarnya, dia dengan semangat empat lima berniat meminjamkan bukunya tersebut dan saya hanya menanggapinya dengan senyum sekedarnya. Entah apa yang tertulis dalam buku itu sehingga dia begitu menginginkan saya untuk membacanya dan pertanyaan itu terjawab ketika saya menyelami setiap bagian dari buku yang tebalnya hampir empat ratus halaman itu. Terima kasih untuk rekomendasinya ya Wina :)


Apa yang terbayangkan ketika seseorang menyebutkan kata “Eropa”? Keindahan Menara Eiffel di Paris, Colloseum di Roma, Istana Buckingham dan Trafalgar Square di Inggris, Bunga Tulip, Orkestra dan Opera, sesuatu berbau klasik, itulah yang mondar-mandir di otak saya saat kata Eropa didengungkan. Begitu keren dan sangat menyenangkan mengkhayalkannya. Merupakan cita-cita saya untuk bisa menjelajahi Eropa suatu saat nanti dengan partner terbaik. Merekam jejak masa lalu lewat bangunan, kesenian, dan makanan.

Bukan hal yang aneh jika deretan tempat tadi  yang mangkal di otak. Tanya kenapa? Karena semua hal tentang Eropa yang diangkat oleh berbagai media memang tidak jauh dari itu semua. But hey, Pernahkah terbersit kata “Islam” saat kata Eropa mengudara? Tidak perlu waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu, “Tidak Pernah…!”. Apa kaitannya Eropa dengan Islam? Secara rasional bisa dijelaskan bahwa Eropa yang kental dengan budaya bebas hasil dari sekulerismenya pasti jauh kemana-mana dengan yang namanya ke-Islam-an. Yah, beginilah adanya jika minim pengetahuan sejarah, terutama tentang perkembangan “identitas” yang melekat pada diri ini sejak dalam kandungan Ibu. Poor me.

Ternyata, bicara tentang Eropa bukan sekedar berbicara tentang kecantikan Menara Eiffel di Paris, bukan juga tentang kemegahan Colloseum di Roma, bukan sekedar tentang eksotisme berbalut keklasikan yang begitu kental. Jauh dari itu semua, ada rentetan sejarah yang begitu dekat dengan kita (read : seorang muslim). Ada yang jauh lebih berharga dibandingkan dengan eksotisme kota-kota Eropa yang ditawarkan agen-agen tur dengan harga bersaing itu. Ada rekam jejak sejarah Islam di tanah Eropa yang menyadarkan kita (saya) pada satu hal, Islam pernah bersinar dan menjadi penerang di benua yang saat ini mayoritas penduduknya beragama Kristen dan Muslim menjadi minoritas. Ada sejarah yang bisa menjelaskan rentetan sebab dan akibat yang berujung pada kondisi yang terbalik saat ini. Sejarah itulah yang coba direkam dengan sederhana namun penuh makna dan menyentuh hati oleh Hanum, sang penulis 99 Cahaya di Langit Eropa, membangkitkan gairah saya untuk mencari tahu lebih tentang sejarah Islam. Semoga ada kesempatan untuk melakukannya, Amin.

Lewat note ini, saya ingin berbagi sedikit apa yang sudah disampaikan oleh penulis dalam buku ini. Satu hal yang menjadi motivasi, terinspirasi dari petikan dialog tokoh utama dengan sahabatnya bernama Fatma, “Kau harus tahu, karena kita sama-sama muslimah, Hanum…”.

                                                                                                         ***
Cerita dimulai dari Wina, Ibu kota Austria yang saya notice sebagai kota musik klasik di Eropa. Musik klasik, orkestra dan juga opera itulah yang terbayang saat kata Wina didengungkan. Kota ini memang dikenal sebagai kota budaya, merupakan tempat kelahiran banyak musisi ternama seperti Schubert, Johann Strauss I, dan Brahms. Banyak orang yang tahu tentang hal ini. Namun, berapa banyak yang tahu kalau Wina menyimpan sejarah peradaban Islam di Eropa? Saya adalah salah satu diantara mereka yang baru tahu kalau Wina merupakan tempat terakhir ekspansi Islam berhenti di tanah Eropa. 

Diceritakan dalam buku ini bahwa tiga ratus tahun yang lalu, Pasukan Turki Ottoman di bawah pimpinan Kara Mustafa Pasha sudah berhasil mengepung kota Wina, namun pada akhirnya pasukan Ottoman ini berhasil dipukul mundur oleh pasukan Jerman dan Polandia. Rentetan kejadian yang berujung pada kekalahan pasukan Ottoman ini kembali mengingatkan bahwa yang tersisa dari perang hanyalah kehilangan. Aksi pengepungan militer tersebut rupanya menjadi proses kulturasi budaya dari kedua Negara. Hal itu terlihat dari arsitektur kota dan beberapa lukisan dinding. Bukti sejarah lainnya tersimpan dengan rapi di museum yang menjadi ikon pariwisata kota Wina ini dan tempat tersebut menjadi salah satu daftar tujuan jika suatu saat nanti saya ada kesempatan berkunjung ke Austria :).

                                                                                             ***

Perjalanan menapaki jejak Islam di Eropa berlanjut ke Paris, Perancis. Siapa yang menyangka jika Paris ternyata memiliki keeratan dengan sejarah peradaban Islam? Bukti sejarah ini tersimpan dengan apik di salah satu bagian di Museum Louvre Paris, yang juga merupakan salah satu ikon wisata kota romantis ini. Dijelaskan bahwa peradaban Eropa sebenarnya baru berkembang 5 abad terakhir. Jauh sebelumnya, Benua Eropa berada dalam masa kegelapan dan keterbelakangan selama 10 abad lebih. Pada saat itu, Islam adalah peradaban yang paling terang benderang di muka Eropa ini. Kekuatan ide dan pesan perdamaianlah yang membuat Islam bersinar saat itu, bukan lewat kekuatan pedang tajam. Diceritakan lewat peninggalan berupa hiasan, kain tenun, peralatan makan, dan peninggalan lainnya, Islam pernah menancapkan pengaruhnya di benua ini. Sempat terbayangkan, seberapa besar Islam pada masa itu dan perasaan haru itu muncul saat menyadari kondisi saat ini dimana Islam hanya menjadi bagian kecil yang kadang dipandang sebelah mata di Eropa.

Satu hal menarik yang diungkapkan dalam buku ini mengenai Paris adalah Axe Historique. Axe Historique merupakan garis imajiner yang membelah kota Paris. Nama lainnya adalah Voie Triomphale yang artinya Jalan Kemenangan. Axe Historique ini sengaja dibuat oleh Napoleon Bonaparte.

Apa yang menarik dari “sesuatu” yang namanya sulit dilafalkan ini?

Monumen de Carrousel – Obelisk Luxor – Place de La Concorde – Champs Elysees – Arc de Triomphe de I E’toile – La Grande Arche de La Defense ; Merupakan bangunan-bangunan yang terkenal di Paris, beberapa di antaranya merupakan ikon kota mode ini. Yang menarik, semua bangunan yang disebutkan tadi berada dalam satu garis lurus atau berada dalam Garis Imajiner Axe Historique. Jika ditarik garis lurus ke Timur, keluar kota Paris, kemudian menembus benua lain, maka garis ini akan menuju Swiss – Italia – Yunani – Laut Mediterania – Mesir – Arab Saudi dan Berakhir di Mekkah. Subhanallah banget ya. Entah disengaja atau tidak.

Satu hal yang menjadi pengetahuan baru, Napoleon Bonaparte, sepulangnya dari ekspedisi menaklukan Mesir diceritakan menjadi seorang yang lebih religius. Salah satu sistem hukum yang dibuatnya, yang dikenal dengan nama Napoleonic code terinspirasi dari seorang Imam di Mesir dan kalau dicermati pasal-pasalnya senapas dengan Syariah Islam. Wallahualam. Satu hal benar terjadi, Salah seorang Jenderal Kepercayaan Napoleon Bonaparte bernama Francois Menou bersyahadat setelah kembali dari Mesir. Subhanallah. Dan apakah Napoleon Bonaparte juga seorang Muslim? Rahasia Allah. “Tidak penting apakah Napoleon muslim atau bukan. Kenyataannya, pada suatu masa dia telah member ruang yang lebar bagi nilai-nilai Islam, baik untuk Negara maupun dirinya sendiri”, begitu yang dituliskan oleh penulis melalui tokohnya Marion.

Salah satu bagian menarik yang perlu dikunjungi saat ada kesempatan ke Paris adalah La Grande Mosquee de Paris, sebuah mesjid yang dibangun untuk mengenang ratusan ribu tentara muslim yang gugur membela Perancis saat perang dunia 1. Mesjid ini juga dicatat pernah menyelamatkan ratusan orang Yahudi dari tentara SS Nazi.

Kesimpulannya, Paris tidak hanya sekedar Eiffel dan Louvre, ada misteri peradaban Islam yang membuat Paris menjadi semaju saat ini :)

                                                                                               ***

Rekam jejak selanjutnya : Cordoba, Andalusia. Pusat peradaban Islam di Eropa. Dari Cordoba inilah sejatinya Eropa maju seperti sekarang ini. Bukan hanya melalui transfer ilmu pengetahuan, namun lebih daripada itu, yaitu transfer nilai-nilai keharmonisan hidup antar umat beragama.

Kota Cordoba, yang awalnya bernama Iberi Baht, dibangun pada masa pemerintahan Romawi berkuasa di Guadalquivir. Lima abad kemudian, kota ini berada dalam kekuasaan Bizantium di bawah komando Raja Goth Barat. Sejarah Cordoba memasuki babak baru saat Islam datang ke wilayah itu pada 711 M atau 93 H. Selain menguasai Cordoba, pasukan tentara Islam juga menaklukan wilayah-wilayah lain di Spanyol seperti, Toledo, Seville, Malaga serta Elvira.

Puncak kejayaan dan masa keemasan Cordoba mulai berlangsung pada era pemerintahan Khalifah Abdul Rahman An-Nasir dan pada zaman pemerintahan anaknya Al-Hakam. Kota yang terletak di Provinsi Andalusia, sebelah Barat Spanyol ini juga dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan. Di kota ini berdiri perpustakaan yang besar dengan jumlah volume kunjungannya mencapai 400.000 orang. Karena itu tidak salah jika Cordoba disebuat sebagai the greatest centre of learning di Eropa, saat kota-kota lain di benua tersebut berada pada masa kegelapan.

Jatuhnya Kekhalifahan islam di Cordoba salah satunya dilatarbelakangi oleh konflik diantara pemimpin Islam itu sendiri dan juga kampanye Perang Salib yang besar-besaran. Granada adalah dinasti Islam terakhir yang mencoba bertahan di Spanyol. Namun, dinasti ini pun akhirnya berhasil ditaklukan oleh Ratu Isabella dan Raja Ferdinan yang tidak hanya mengusir kekhalifahan Islam di Semenajung Iberia ini, tetapi juga melakukan ekspansi Kristen secara besar-besaran.

Diceritakan sepuluh tahun setelah mereka berhasil mengusir kekhalifahan Islam di Granada, Keduanya memerintahkan untuk melakukan pembabtisan massal, hal yang sangat ditentang bahkan oleh penduduk asli Granada yang mayoritas beragama Kristen. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa saat ini tidak banyak peninggalan Islam kecuali bangunan di Andalusia ini.

Salah satu peninggalan terbesar kekhalifahan Islam di Corboda ini adalah Mezquita, sebuah Masjid terbesar di jamannya yang saat ini telah dialih fungsikan menjadi Gereja Katedral di Cordoba. Juga Istana Al-Hambra di Granada yang merupakan peninggalan kekhalifahan Islam yang saat akhir sebelum berpindah tangan ke penguasa Spanyol dipimpin oleh Mohammad Boandill.

Cordoba, the city of Lights, jauh sebelum Paris ditasbihkan menjadi The City of Lights di jaman modern saat ini.

                                                                                               ***

Rekam jejak diakhiri penulis di Turki, Istanbul. Negara yang berada di antara dua Benua, yang dipisahkan oleh Selat Bosphorus yang terkenal itu. Hal yang dengan mudah diingat dari Turki ini adalah tentang sejarah Kekhalifahan Usmaniyah atau Ottoman. Kekhalifahan yang pada masanya itu berhasil menaklukan Byzantium di bawah pimpinan Sultan Muhammad II pada tahun 1453.

Turki Usmani berhasil membentuk suatu Imperium besar dengan masyarakat yang multi-etnis dan multi-religi. Kegagalan pasukan Turki dalam usaha penaklukan Wina pada tahun 1683, merupakan suatu awal memudarnya kecermelangan Imperium Turki. Setelah Perang Dunia I pada tahun 1918, dengan kekalahan pihak Sentral yang didukung oleh Turki, Imperium Turki Usmani mengalami masa kemuduran yang sangat menyedihkan. Pada tahun 1919-1923 terjadi revolusi Turki di bawah pimpinan Mustafa Kemal. Mustafa Kemal mendirikan Negara Republik Turki di atas puing-puing reruntuhan kekhalifahan Turki Usmani dengan prinsip sekularisme, modernisme dan nasionalisme.

Peninggalan yang paling terkenal dari masa kekhalifahan Usmaniyah di Turki adalah Hagia Shopia sebuah gereja di masa Bizantium yang berubah fungsinya menjadi mesjid pada masa Khalifah Usmani dan sejak pemerintahan Mustafa Kemal hingga kini dijadikan musium. Kisah ini berkebalikan dengan kisah Mezquita di Cordoba, sebuah Masjid yang diubah fungsinya menjadi gereja. Berbeda dengan Mezquita yang terkesan dihilangkan hal-hal terkait dengan dunia Islam, tidak terjadi perusakan ataupun perubahan atas Hagia Shopia. Bagian yang terkait dengan Sejarah Kristen hanya ditutup dengan kain, tidak dirusak sama sekali. Blue Mosque, Masjid yang tepat berada di sekitar Hagia Shopia merupakan bukti sejarah lain dari kekhalifahan Turki Usmaniyah. Menyimpan banyak kisah tentang maju mundurnya Islam di Turki.

                                                                                               ***

Banyak hal yang mungkin baru saya ketahui dari buku 99 Cahaya di Langit Eropa ini. Satu hal yang baru saya sadari saat ini, bahwa Islam pernah Berjaya di Eropa, menjadi penerang dan memberikan pengaruh di masanya. Masa-masa kejayaan itu pun berangsur memudar, menghilang dan sekarang tinggal menjadi kenangan. Apakah tidak ada yang tersisa? Tidak, Masih Ada. Mungkin benar masa kejayaan Islam telah berakhir di Negeri empat musim itu, tetapi masih ada sisa-sisa kebaikan yang bisa kita kembangkan, kita pupuk, dengan harapan, suatu waktu nanti Islam kembali Berjaya di Eropa. Insya Allah.

Salah seorang tokoh dalam novel ini, begitu menginspirasi. Seorang Muslimah Asal Turki yang tinggal di Wina Austria. Menjadi seorang minoritas di negeri sekuler tidak membuatnya menyerah untuk terus mengembalikan kejayaan Islam di tanah Eropa, meskipun cara yang dilakukannya sederhana, bahkan bisa dibilang sepele. “Menjadi Agen Muslim yang baik di tanah Eropa”, begitulah misinya selama tinggal di Wina. Yah, menurutnya bukan saatnya lagi menyebarkan Islam dengan kekerasan, dengan pedang, namun dengan menunjukan kesantunan pemeluknya. Bukan dengan menyebarkan terror atas nama agama yang menyebabkan kerusakan. Namun, dengan sikap dan tutur kata yang menyejukan. Betapa beruntungnya, kita bisa hidup sebagai seorang muslim dan tinggal di Negara yang mayoritas penduduknya muslim. Segala kemudahan dalam hal peribadahan didapatkan, namun, kadang kemudahan membuat kita menjadi lupa diri.

Ini bukan promosi lho, ini Cuma sharing :). Buku ini sangat menginspirasi, mengingatkan kembali untuk terus menggali tentang “Identitas” yang melekat sejak dilahirkan ke Bumi.

Semangat saya untuk menjelajahi Eropa semakin menjadi sekarang. Bukan hanya karena keindahan yang sebelumnya saya kenal lewat buku traveling ataupun catatan perjalanan di media sosial. Tetapi jauh dari itu. Yaitu, mencoba merekam jejak Peradaban Islam di Bumi Empat Musim itu :)

“Pergilah, Jelajahilah dunia, lihatlah dan carilah kebenaran dan rahasia-rahasia hidup; Niscaya jalan apapun yang kau pilih akan mengantarkanmu menuju titik awal. Sumber kebenaran dan rahasia hidup akan kau temukan di titik nol perjalananmu. Perjalanan panjangmu tidak akan mengantarkanmu ke ujung jalan, justru akan membawamu kembali ke titik permulaan. Pergilah untuk kembali, mengembaralah untuk menemukan jalan pulang. Sejauh apapun kakimu melangkah, engkau pasti akan kembali ke titik awal” – Paulo Coelho, The Alchemist.

Dikutip secara langsung dari :
  1. 99 Cahaya di Langit Eropa
  2. http://www.merdeka.com/gaya/5-kota-di-eropa-barat-yang-bernapaskan-islam.html
  3. www.wikipedia.com
  4. http://www.fib.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=91:kemalisme-budaya-dan-negara-turki&catid=39:artikel-ilmiah&Itemid=122&lang=in-ID

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts