Being Flynn … Cerita Balik

8:38 AM


Being Flynn … Cerita Balik

Being Flynn, sebuah film yang gue pilih secara acak di abang-abang yang jualan vcd bajakan di Stasiun Sudirman sekitar dua bulan yang lalu. Ga ada informasi sebelumnya tentang film yang diperankan oleh Robert de Niro ini. Terus kenapa pilih film ini dong? Entahlah, ga ada alasan special kecuali gue butuh hiburan dan film ini yang “klik” untuk dipilih. Yeayyy…

Setelah dua bulan nganggur, akhirnya Sabtu kemarin, gue berkesempatan untuk menonton film yang durasinya 1 jam 40 menitan ini. Dan ternyata, teori seorang temen yang dijabarkannya dulu itu bener, “Kadang, karya yang numpuk di rak buku yang ga ada embel-embel best seller-nya itu, punya cerita yang bagus…”. Terus? Hmm…. antimainstream lah ya, memilih sesuatu yang udah banyak orang pilih itu terlalu mainstream. Eh????

Film yang kata penjualnya ini punya subtitle Indonesia, ternyata sama sekali ga punya subtitle, alhasil meraba-rabalah gue nontonnya. Untungnya adegan dalam film ini bisa menjelaskan tiap plot dengan baik, sehingga gue ga ngerasa seperti Dono yang ga tahu lagi nonton apa (termasuk adegan yang seharusnya disensor tapi tidak disensor…upsss…)

Besutan Sutradara yang menjadi salah satu nominator di Academi Award untuk filmnya About a Boy, Paul Weitz, menceritakan sebuah kisah Ayah dan Anak, keluarga Flynn. Nick Flynn (Paul Dano), seorang pemuda usia (entahlah gue ga nyimak dia usia berapa, yang jelas masih dibawah 30tahun), sedang berusaha menata hidupnya kembali. Ibunya bercerai dengan sang Ayah, saat usianya masih anak-anak, dan di saat usia Nick 22 tahun, Ibunya memutuskan untuk bunuh diri. How Pathetic…!! Hal lain yang menjadi “luka” Nick kecil adalah, jarangnya ia bertemu dengan Sang Ayah, menjadikannya seorang yang nakal sewaktu kecil. Di salah satu adegan Nick kecil bilang begini (kira-kira ya), “Ibuku punya banyak kekasih, dan mereka bergantian menemaniku bermain Baseball, tapi dari semua kekasih ibu itu, hanya satu yang selalu kutunggu, Ayah…dan dia tidak pernah datang…”, mengharukan, bikin meleleh.

Dalam proses menata hidupnya, Nick pindah kerja dari satu tempat  ke tempat lainnya. Sampai suatu ketika, temannya (yang juga jadi TTMnya, diperankan oleh Julianne Moore) menyarankan dia untuk melamar pekerjaan di Homeless Shelter yang ada di Harbour Street. Maka bekerjalah ia di sana, di awal musim dingin yang membekukan apapun, termasuk luka dalam hati, tsahh…

Gue baru tahu lewat film ini, kalau di Amerika sana ada ya Shelter untuk tunawisma. Di sana mereka diberi tempat menginap plus fasilitas kesehatan yang bisa dibilang, “memanusiakan mereka”. Dan disinilah kisah sebenarnya itu dimulai, yaitu di saat Nick, menemukan ayahnya menjadi salah satu penghuni Homeless Shelter tempatnya bekerja. Bayangin ya, Bapak yang ga pernah nemuin lo waktu kecil (bisa dibilang, menelantarkan lo), bikin luka yang ga ada obatnya kecuali ikhlas, tiba-tiba muncul dihadapan lo dengan menyandang status tunawisma. Gimana itu rasanya? Yaaaa, tepattt…!!!! pertentangan batin Nick menjadi salah satu basic dalam cerita ini.

Nick frustasi dengan kenyataan yang dihadapinya sekarang. Batinnya yang satu ga tega ngeliat bapaknya sendiri tinggal di Homeless Shelter seperti itu. Sedangkan batinnya yang lain, masih penuh luka masa kecil sekaligus rindu yang menggunung, sulit untuk menerima Ayahnya kembali. Semua orang, termasuk Jod, TTMnya sudah berulang kali mengingatkan Nick untuk menerima ayahnya kembali, namun urung dilakukan. Frustasi membuat Nick malah menjadi pecandu. Salah satu ketakutan terbesar yang menambah rasa frustasi Nick adalah Ia takut menjadi seperti ayahnya. Tapi, kenyataan menunjukan, He is like his Father.

Pada suatu ketika, yang bisa dilakukan adalah menerima, mungkin tepat untuk menyimpulkan keseluruhan cerita yang dikemas apik ini. Karna tergolong film drama, ga terlalu banyak dialog antar tokohnya, dan kalaupun ada dialog, isinya itu sesuatu banget. Kekuatan film ada di ceritanya menurut gue dan kemampuan setiap actor untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan lewat mimic dan gerak. Ditambah, soundtrack-nya, yang dibuat oleh Badly Drawn Boys, “klik” banget dengan tiap adegan.

Film yang diangkat dari Memoirnya Nick Flynn (Seorang Penulis Amerika) yang berjudul “Another Bullshit Night in Suck City” ini membuat gue semakin yakin, bahwa kadang menerima itu adalah pilihan yang terbaik dan satu lagi yang paling penting, Ga ada yang bisa mengubah kondisi seseorang kecuali orang itu sendiri yang mengubahnya, persis seperti yang selama ini tercantum di Al-Quran. Selalu ada kemungkinan untuk dicap sebagai bekas pacar, bekas istri, atau bekas teman. Tetapi ga ada yang namanya bekas ayah, bekas anak, bekas cucu. Semua yang terikat darah ga ada bekasnya. Dan saat kita terluka oleh mereka yang darahnya mengalir dalam tubuh kita, adakah pilihan lain selain menerima kenyataan bahwa mereka adalah kita dan mulai memaafkan?


Face with the truth you don’t want to believe
Can a man never live without dying?
Remember the things that you wanted to be
Does a man never failed without trying?

Take my hand, walk with me
With your hand set me free
Take my hand, walk with me
Let it Rain.. Let it Rain…
  
Remember the things that you wanted to be…
Can man truly live without dreaming?
Take my hand, walk with me
With your hand, set me free
Let it rain…Let it rain[Let it Rain, Badly Drawn Boy]

Happy Monday, Semoga Bermanfaat :)





You Might Also Like

0 comments

Popular Posts