Random Talk #28

8:11 PM

Kamis, 11 September 2014

Ini adalah hari keempat semenjak ayah saya meninggalkan kami sekeluarga untuk selama-lamanya. Sering saya diam sendirian dan bertanya dalam hati, "Ini beneran ya?"

Siang itu, saya dan Irfan, rekan kantor yang dikirim ke Filipina selama dua belas hari, berjalan penuh semangat melewati Garbarata, si belalai gajah yang menghubungkan pesawat dengan gedung utama bandara, sembari mengaktifkan smartphone masing-masing. Rindu ini sudah menggunung, kami sama-sama ingin memberi kabar secepatnya kepada orang tua bahwa anaknya sudah sampai dengan selamat di Jakarta.

Setelah melewati pemeriksaan di Imigrasi dengan petugas yang tidak ada senyumnya sama sekali, kami berdua sama-sama menunggu di Bagage Claim, menanti koper yang beratnya bertambah dua kali lipat dibandingkan dengan saat berangkat. Saya masih sibuk dengan smartphone begitu juga dengan Irfan. Sekilas saya membaca notifikasi pesan dari adik saya (dua-duanya), yang berisikan, "Cepet pulang, jangan kemana-mana!". Saya senyum sendiri membaca pesan tersebut, "Ya iya, siapa juga yang mau kemana-mana!". Pesan itu saya abaikan, saya langsung menelepon ibu yang mungkin saat itu sedang mengajar di TK seperti hari-hari biasanya.

Sambungan pertama gagal! 
Tidak ambil pusing, saya malah mengirimkan pesan kepada sahabat-sahabat untuk memberi kabar bahwa saya sudah sampai dengan selamat di Jakarta, pasti dengan haha hihi seperti biasanya.
Percobaan kedua, saya menghubungi ibu saya. Sambungan kedua berhasil. Namun, yang mengangkat telepon bukan mama, melainkan bibi saya yang tinggal di Laladon, Bogor. Satu prasangka dan pertanyaan muncul di kepala saya, "Pasti ada apa-apa" dan "Siapa?"

Saya masih ingat dengan jelas pertanyaan yang saya tanyakan kepada bibi saat itu.
"Mama mana"
"Adnan mana?"
"Fajar mana?"
"Ayah mana?"

Tidak ada yang bisa menjawab saat saya bertanya soal ayah saya dimana. Ibu saya hanya menangis dan bibi saya hanya bilang, "Anggi yang sabar!"
Seluruh kekuatan itu luruh begitu saja. Tangis pecah tanpa bisa dikendalikan. Irfan berusaha menenangkan saya tapi gagal. Kalau ada yang bertanya bagaimana perasaan saya saat itu, maka saya akan menjawab tidak tahu. Saya tidak mampu mendeskripsikan bagaimana perasaan hati saya saat itu bahkan sampai hari ini saya masih tidak mampu mengurai bagaimana perasaan saya yang sebenarnya setelah mengetahui bahwa ayah kami sudah tiada.

Ternyata sahabat-sahabat saya di kantor sudah tahu berita meninggalnya ayah saya itu. Dengan setengah kesadaran, Irfan bilang bos saya sedang menuju bandara untuk menjemput saya dan mengantar pulang ke rumah. Alhamdulilah, proses berangkat dari bandara ke rumah yang biasanya memakan waktu berjam-jam terasa singkat waktu itu. Saya sangat ingin melihat ayah untuk yang terakhir kali sebelum ia dikebumikan. Namun takdir bicara lain. Ibu saya memberi kabar bahwa ayah harus segera dimakamkan, karena darah akibat pembuluh darah yang pecah  terus mengalir dan kasihan jenazah jika dibiarkan terlalu lama menunggu.

Berat rasanya saat itu. Saya ingin sekali berteriak tapi akal sehat saya masih berfungsi dengan baik saat itu. Maka, dengan niat saya sayang sama Ayah dan tidak ingin membuatnya menderita lebih lama, maka saya ikhlaskan beliau dikuburkan sebelum saya sampai di rumah. 

Langit Jakarta terasa muram. Itu hari paling sulit dideskripsikan rasanya bagi saya. Bahkan sampai hari ini masih sulit untuk diuraikan!

"Ya Allah, hamba tidak pernah meminta hidup seperti ini, namun Engkau memberi hidup seperti ini. Hamba pasrah dengan takdirMu, hamba sabar dengan ketetapan dan ketentuanMu... Ampunilah dosa-dosa Ayah hamba, terimalah iman islamnya, terimalah amalnya, lapangkanlah kuburnya, berilah cahaya di dalam sana, jauhkanlah ayah dari siksa kubur, tempatkan ia di tempat terbaik di sisiMu Wahai Dzat yang menghidupkan dan mematikan... Pertemukan kami semua, ayah, mama, saya, dan adik-adik di surgaMu kelak..." 

Amin!

Tidak ada pilihan lain untuk menerima dan ikhlas. satu kata ikhlas itu begitu sulit diurai maknanya, begitu sulit dideteksi keberadaannya. Apakah saya ikhlas? Belum benar-benar tahu, mulut saya bilang saya ikhlas ridho, mungkin hati saya baru mengikuti setelah berjalannya waktu. Dan sebenarnya orang yang paling sakit hatinya dengan kehilangan ini adalah ibu saya. Maka demi dia, kami semua, saya dan adik-adik harus tegar, harus kuat.

"Ya Allah, tiada daya dan kekuatan kecuali datangnya dariMu. Berilah kekuatan itu..Amin"

With Love
Dini



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts