Cerita di Lift #1

9:18 PM

Detik merambat pelan
Aku ingin tetap seperti ini
dan kalau saja waktu bisa dibekukan

Pagi ini kita bertemu lagi tanpa sengaja, di ruang sempit yang hanya bisa menampung sepuluh orang saja, satu-satunya ruang yang mampu bergerak naik-turun mengikuti kemana arah yang dipilih penghuninya. Kadang aku berpikir mengapa Tuhan seringkali mempertemukan kita dalam situasi yang tidak terduga, memberi efek kejut kepadaku setiap kali menangkap wajahmu. Apakah ini pertanda bahwa aku yang harus memulai semuanya...? Dengan senyum paling manis yang sudah lama kupersiapkan untuk menyapamu, “Hai.. Selamat Pagi...!!” Ah, nyaliku terlalu ciut untuk memulai itu...!

Kamu berdiri di pojok sebelah kanan tepat di depan deret angka, dan aku berdiri di pojok sebelah kiri.
Aku dan kamu berdiri sejajar dengan jarak yang sudah begitu dekat, namun ada sekat yang memisahkan dunia kita. Kamu diam dalam lamunanmu sendiri, sedang aku, dari sudut mata sebelah kiri terus mengamatimu. Dan waktu terus merambat, nyaliku masih tetap sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi. Entah sudah berapa kali kesempatan kulewatkan begitu saja. Ahhh....!!!

Hiruk pikuk yang hadir dari dua penghuni lain terserap hening yang tercipta dari kita berdua. “Apa yang sedang kamu pikirkan hari ini...?”, pantulan pertanyaan yang kembali mengendap dalam hati

“Blepppppp...!!!!”
“Arghhh.....!!!!”, salah seorang penghuni ruang bergerak berteriak memecah hening

Dan sesaat semuanya berhenti.

“Tenang, jangan panik.. semua akan baik-baik saja...!!”, kamu yang diam di pojok kanan tiba-tiba bersuara, menenangkan penghuni lift yang panik karena lift tiba-tiba tak bergerak, entah diam di posisi mana dari gedung dua puluh lima tingkat ini. Wajahmu yang teduh terlihat berpikir, setelah itu tanganmu sibuk memencet-mencet tombol yang tak kumengerti untuk apa. Tak peduli juga untuk apa tombol itu, aku hanya peduli denganmu yang sibuk mencari cara keluar dari ruang yang semakin terasa sesak ini secepatnya.

“Tolong, ada wanita tua yang butuh pertolongan...” , kamu menyodorkan kertas ke arah kamera CCTV yang tergantung  di sudut paling kanan lift berharap dengan begitu akan muncul seseorang dari kamera tersebut dan membawa kami keluar dari kepengapan ini, kamu mulai terlihat frustasi.

“Tarik nafas Ibu...”, aku mulai memainkan peran yang memang sudah seharusnya kulakukan sejak lima menit yang lalu, bukannya mengamati kamu yang sibuk mencari cara keluar dari lift ini.
Tanganku merogoh inhaler yang biasa kubawa, kebiasaan lama, siapa tahu ada yang perlu bantuan nafas, dan kali ini inhaler yang biasanya terbungkus rapi di tas, akhirnya berguna juga.

“Pelan-pelan, tarik nafas lagi Ibu... Semuanya akan baik-baik saja Ibu..”, tanganku menggenggam erat tangan wanita tua yang sudah kadung panik dengan keadaan. Nafasnya mulai teratur dan wajahnya tidak sepucat lima menit yang lalu.

“Bagaimana kondisinya..”, kamu, orang yang selama ini aku tunggu-tunggu untuk kusapa, tiba-tiba mengajakku berbicara. Apakah rona merah ini terlihat olehmu...? Aku mematung, darahku sepertinya berhenti, dan dunia seperti jalan di tempat. “Hei...!!”, tanganmu membuyarkan lamunan tiga detikku, “Bagaimana kondisinya...?”, kamu bertanya lagi

Senyum manis itu tidak keluar, padahal sudah lama kupersiapkan. “Kondisinya sudah mulai membaik, paling tidak sekarang nafasnya sudah teratur...!!”

Kamu terlihat lega mendengar jawabanku.

“Kita semua harus rileks, dan jangan terlalu banyak bergerak. Oksigen di ruang ini semakin menipis...”

Wajah frustasimu muncul lagi.

“Kita harus buat jarak, supaya tidak rebutan oksigen...”, katamu spontan, “Ya, beruntung lift ini hanya membawa empat orang, jadi ruang yang terbagi tidak terlalu sempit... Kita duduk di pojok, jangan lupa luruskan kaki...”, kamu melanjutkan

“Ya...”, hanya kata itu yang mampu keluar dari bibir ini padahal ribuan kata sudah siap meledak

Dan tanpa di komando semua orang mengambil pojoknya masing-masing, merilekskan diri, kemudian meluruskan kaki

Detik merambat pelan
Aku ingin tetap seperti ini
dan kalau saja waktu bisa dibekukan

“Kamu kerja di gedung ini...?”, tiba-tiba kamu membuka percakapan
“Iya...”, kataku, sial masih belum keluar juga senyum itu
“Aku sering melihatmu... sepertinya beberapa kali kita pernah satu lift...”, kamu tersenyum kemudian berkata spontan, “Sial ya kita terjebak di lift seperti ini...!!!”

Kita... Sial... Ini bukan kesialan. Ini sebuah pertanda. Takdir menginginkan kita bertemu, kamu dan aku.

“Haha, mungkin....!!”, aku menjawab asal, dan keningmu berkerut, “Mungkin...?”, tanyamu
“Iya, mungkin ini pertanda... “aku memberi jeda sebentar, menegaskan kata pertanda, “bahwa kita ga boleh masuk kerja...”, aku terkekeh, senyum yang seharunya kuperlihatkan menguap entah kemana
“Hahaha, mungkin...!!”, jawabmu spontan
Ini kali pertama melihat kamu tertawa lepas, manis itu masih tetap menggantung di wajahmu. Setelah itu hening kembali melingkupi kita berdua.

...
...

“Terima kasih...”, tiba-tiba kamu mengucapkan kata itu, memecah hening

“Terima kasih untuk apa...?”, kataku bingung

“Terima kasih sudah membantu wanita tua tadi tenang... “, jawabmu sambil mengarahkan pandangan ke wanita tua yang juga tersenyum, dia sudah lebih tenang, nafasnya sudah teratur
Aku tersenyum, “Bukan apa-apa, sudah tugasku untuk membuat wanita itu tenang, kan..?”, kataku sambil mengangkat jas putih yang kuselipkan di kedua tanganku, dan kamu tersenyum, Demi Tuhan aku ingin membekukan waktu segera...!!!

“Terima kasih...”, kataku spontan
“Terima kasih untuk apa...?”, tanyamu bingung
“Terima kasih sudah berusaha untuk mengeluarkan kami dari tempat ini meski kita masih belum bisa keluar...”, jawabku sambil tersenyum

Wajah frustasimu meluntur, kamu tersenyum lagi...

Dan waktu merambat pelan
Tak ada lagi kata
Tapi ini sudah lebih dari cukup
Andai saja waktu bisa dibekukan
Aku ingin terus seperti ini saja...








You Might Also Like

0 comments

Popular Posts