Satu Jam Saja

2:26 AM


Jangan berakhir
Aku ingin sebentar lagi, mengenang yang pernah ada
Satu jam saja

Hari ini, tepat di jam delapan pagi, akan ada perubahan besar dalam catatan perjalanan hidup kita, Aras.. Tepat jam delapan nanti, kamu akan membacakan ikrar suci pernikahan, dan pada saat itu seribu malaikat akan turun ke bumi, mengelilingi orang-orang yang berkumpul di aula masjid yang menyaksikanmu mengikrarkan janji suci pernikahan seraya berdoa kepada TuhanNya, mendoakan kebaikanmu, dan juga kebaikan orang-orang yang hadir di aula masjid dengan kebahagiaan berlipat. Dan, tepat setelah ikrar diucapkan, kamu akan berubah status menjadi seorang suami.. Dan aku, tepat di waktu yang sama, juga akan berubah status menjadi seorang istri..

Hidup itu lucu ya Aras. Takdir mempertemukan kita pertama kali sebelum kita dipertemukan dengan yang lain. Takdir juga yang membuat kita mengenal satu sama lain lebih baik dibandingkan orang lainnya. Takdir menggiring kita menjalani perubahan usia bersama-sama, mengalami momen-momen yang sama berdua..untuk segala tawa yang terurai, tangis yang mengambang, dan segala kicau-kacau yang keluar setiap harinya dari mulut kita, aku bersyukur dengan semuanya.

Sejak lama di dalam hati ada yang berbisik, "Mungkin memang kita sudah ditakdirkan untuk selalu bersama-sama..". Ku kira akhirnya akan seperti itu..

Namun, ternyata takdir punya jalan ceritanya sendiri, punya kuasa apa kita melawan takdir? Kita hanya lakon hidup yang mengikuti  alur yang ditentukan takdir, dengan penerimaan yang baik. Dan saat ini, kita sedang berusaha melakoni hidup dengan baik. Kamu bilang, "berpura-pura".. Memang betul kita sedang berpura-pura melakoni hidup dengan penerimaan yang baik, tapi tidak ada salahnya bukan kita berpura-pura untuk sesuatu yang baik? Dan kamu pun tertawa sinis. Aras, kadang hal terbaik dalam hidup itu adalah menerima...dan kamu hanya membisu..

Jam dinding kamarku berdentang tujuh kali, artinya satu jam lagi momen besar itu akan segera tiba. Bisa kudengar dengan jelas riuh ramai panitia mempersiapkan printilan-printilan acara akad nikah, gerak mereka sepertinya lebih cepat dari sejam sebelumnya, mendekati detik-detik acara semuanya menjadi lebih tergesa.

Dan sinilah aku berada sekarang, duduk manis di depan cermin yang memantulkan wajahku dengan sempurna. Wajah yang selama ini polos tanpa hiasan berubah wujud. Aras, kamu belum pernah melihatku secantik ini kan? Kamu pasti tidak akan menyangka, si anak rimba akan berubah wujud menjadi puteri keraton yang ayu tiada duanya. Andai saja kamu ada di sini saat ini Aras..

Aku ditemani dua orang perias, sang perias utama Ibu paruh baya dengan badan sedikit gemuk asyik menghias wajahku, sang asisten siap siaga menanti komando Ibu Nining, sang perias utama. Sesekali, Mba Tari, nama asisten tersebut, berdecak kagum melihat Ibu Nining yang melukis wajahku dengan sempurna, menutupi jejak-jejak tak terbaca tentangmu (batinku berucap). Tak ada satupun orang diperbolehkan masuk ke ruangan ini. Ibu Nining melarang keras, "Biar pangling", katanya. Aku menurut saja, begitu juga dengan Ibu.

Ah Ibu... Kalau saja bukan karena Ibu..

Ingatanku melayang acak ke bulan November tahun lalu. Waktu yang memporak-porandakan rencana yang sudah lama kita bina. Seperti yang aku ceritakan kepadamu sebelumnya,  saat itu Ibu masuk kamarku. Beliau duduk di ranjang sambil mengusap rambutku. Tangannya kasar, maklum saja, Ibuku itu seorang pekerja keras, Single Parent nomer wahid seantero jagad raya. Sudah lama kebiasaan mengusap rambut ini menghilang, seiring mendewasanya usiaku. Dan hari ini, entah kenapa ibu melakukannya lagi.

"Ibu punya satu permintaan sama kamu, ndok..", tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulutnya. "Permintaan?", batinku bertanya-tanya, Ibu adalah orang yang tidak pernah meminta apapun dariku, sejak dulu sampai aku dewasa, buatnya aku adalah dunianya yang tak pantas untuk dipinta, aku adalah dunianya yang akan dibahagiakan.. Ini permintaan pertama ibu, dan aku akan melakukannya. Pasti..!!

"Ibu mau minta apapun, Atria akan kasih..suerrr..", kataku ceria sambil mengacungkan jari, kalau saja aku tau permintaan ibu akan seberat itu, kalau saja sebuah janji bisa dibatalkan, kalau saja niat untuk mengabulkan semua permintaan ibu itu bisa ditarik kembali..kalau saja..

"Ibu mau meminta kamu untuk menikah dengan Banyu, anak pakde Jiwo..", lidahku kelu seketika mendengar permintaan ibu. Apa katanya barusan? Menikah? Banyu? Pakde Jiwo? Semua perkataan ibu barusan melayang2 diotak, dan seketika itu juga kepalaku terasa pening. Ibu kemudian bercerita panjang lebar tentang Pakde Jiwo, sahabat karib ayah yang telah banyak membantu keluarga sejak ayah meninggal dunia, mereka yang sekarang tinggal di Bantul, tentang ayah dan pakde jiwo yang berjanji menjodohkan anak-anaknya kelak, tentang ibu dan pakde jiwo yang ingin melaksanakan permintaan terakhir ayah, tentang perjodohan, tentang pernikahan.. Aku membisu.. Sama seperti kamu yang membisu ketika aku bercerita panjang lebar tentang rencana ibu, tentang aku yang tidak bisa menolak permintaan ibu, tentang aku yang membatalkan rencana pernikahan kita.. Hanya bisu dan hening..

Dan inilah saatnya janji itu dituntaskan. Sebuah pernikahan yang telah lama aku idamkan. Bukan dengan seorang Aras yang kukenal, tapi dengan Banyu, seseorang yang hanya seujung kuku baru kukenal.

Aku bilang ini takdir, kamu bilang aku yang terlalu pasrah. Aku bilang yang terbaik adalah menerima, kamu bilang aku berpura-pura. Aku bilang jangan terluka, kamu diam. Aku mengerti luka yang tercipta di sana, luka yang sama pun tercipta di tempat yang sama di hatiku. Namun, luka ini tidak akan pernah sembuh kalau kita tidak pernah bisa menerima, Aras.

Kamu pun pergi, melarikan diri. Ke tempat-tempat yang ingin kita kunjungi bersama sendirian, tanpa aku. Sebuah pelarian. Berhari-hari. Berbulan-bulan. Tak ada sedikitpun kabar darimu. Sampai akhirnya sebuah undangan datang. Undanganmu dan Sira. Kamu akan menikah tepat di hari yang sama dengan hari pernikahanku. Di dalam suratmu kamu bilang, bahwa kadang menerima adalah hal terbaik yang bisa dilakukan dalam hidup. Dan pelarian kamu ke tempat-tempat yang jauh itu membawa kamu ke suatu titik penerimaan. Dan di saat kamu mulai menerima itulah, takdir mempertemukanmu dengan Sira. Kamu bilang, meski sudah bisa menerima takdir, kamu tetap tidak sanggup jika harus menyaksikanku menikah dengan orang lain, maka kamupun memutuskan untuk menikah di hari yang sama dengan hari pernikahanku. Entah mengapa, ada yang berdenyut di dadaku.

"Mba Atria, riasannya sudah selesai.. Yuk kita ke aula depan..", Mba Tari menyadarkan lamunanku, dan aku dikembalikan ke dunia nyata, dimana ada wajah mirip puteri keraton terpantul sempurna di cermin ditemani dua orang perias yang sangat baik, yang sebentar lagi akan menjadi istri Banyu, anak pakde Jiwo.

Kadang, yang terbaik yang bisa dilakukan dalam hidup adalah menerima. Sebelum semuanya benar-benar berakhir, izinkan aku untuk sekali lagi mengenangmu, Aras..

***

"Saya terima nikahnya, Sira binti Said dengan mas kawin tersebut.. Tunai.."

Dan malaikat pun turun ke bumi, mengirimkan doa terbaik untukmu, Aras..dan juga untukku


11 November 2013

You Might Also Like

0 comments

Popular Posts