Yes, I fell on the street

8:42 AM

Hari Sabtu Pagi nan cerah ceria, gue udah nongkrong di pelataran ruko sekitaran ITC Depok. Bela-belain mandi jam setengah delapan di kala weekend dan bermotoran ria di pagi hari cuma buat ikutan speaking test di salah satu tempat les Bahasa Inggris di Depok ini. Niat banget kan? Bangett…!!! Yah, meskipun masuk dalam kategori telat akut buat ikutan les Bahasa Inggris, harus tetap dijalanin, soalnya udah janji. Janji Dini. Tsah…!!!

Sekitar jam setengah sepuluh tes selesai. Jangan tanya gue masuk kategori apa, malu nyebutinnya. Kemana aja ya sewaktu gue imut-imut dulu, di saat otak masih cling cling cer nerima pelajaran? *Jawab : Kebanyakan nonton doraemon kakak*


Setelah urusan per-les-an selesai, gue pun beranjak keluar ruko menuju parkiran. Sambil nenteng helm, gue berjalan santai, melewati satu, dua, tiga, *banyak* motor dan berhenti persis di pinggiran jalan untuk nyetop angkot. Terus helm buat apa? Buat gebukin nyamuk-nyamuk nakal. FYI, meskipun gue sangat handal mengendarai sepeda (bukan roda tiga tentunya), gue tetep ga khatam naek motor. Tanya kenapa? Kagak tahu deh, sumpah..!!!


Tujuan perjalanan kali ini adalah toko buku yang ada di Pondok Cina, yang menurut sumber yang gue baca merupakan setting favoritnya salah satu tokoh di novelnya Tere Liye dan sekarang jadi salah satu toko favorit gue di Depok. Setelah ngangkot sekitar sepuluh menit, gue pun turun persis di Jembatan Penyebrangan. Setelah menyebrangi jembatan yang mengubungkan Depok Town Square dan Margo City , sampailah gue di satu titik, masih 100 meter jaraknya dari toko buku. Masih dengan menenteng helm putih punya adek gue yang dipake tadi pagi untuk menghindari penilangan di tanggal tua dan otak yang terus menerawang buku yang akan dibeli, tanpa ada alasan yang benar-benar masuk akal, kecuali kaki kiri yang nyerempet kaki kanan, gue pun terjatuh, nyungsruk se nyungsruk nyungsruknya ke trotoar dengan posisi tidak manusiawi. What the? Iye, gue jatoh di trotoar yang ga ada hambatannya sama sekali. Sungguh bodoh dan teledor akut.


Akibat insiden paling heboh pagi itu, tangan gue sedikit terluka. Darah menggoda gue untuk segera menjilatnya (bak sirup marjan) tapi urung dilakukan karena hati dan muka masih panas karena malu. Nyerinya masih terasa sampai tadi gue mandi, perih cuy, sumpah..!! Tapi, lebih dari itu, ga ada yang nandingin gimana malunya gue saat insiden lutut nyentuh trotoar dan mulut yang hampir mencium helm yang udah mental di sisi kanan trotoar terjadi. Gue yakin seyakin yakinnya, orang-orang yang ada di TKP pada ngeliat ngenes ke arah gue, mungkin juga ada yang kasihan campur bingung, kok bisa jatoh?  


Karena malu, gue pun buru-buru bangun dan meneruskan perjalanan dengan se-cool mungkin (padahal kalo ada telor mentah diceplokin ke muka gue saat itu, yakin jadi telor mata sapi dengan sempurna, panas boo, maluuu…).


Sambil jalan, tangan yang berdarah gue tiup-tiup biar perihnya hilang, sedangkan hati masih bergejolak, dan terus merutuki keteledoran yang baru saja terjadi. Gimana bisa jatoh padahal jalanan aman?


Okeh, sebagai manusia, kita ga pernah tahu hal apa yang akan dihadapi di depan. Jalanan aman bukan jaminan insiden-insiden yang tidak menyenangkan tidak terjadi, bukan? Sesaat otak gue membisikan sebuah pembelaan. “Iya, gue jatoh, emang ga boleh?”. Si otak kemudian melanjutkan pembelaannya, “Mana gue tahu setelah turun jembatan bakal jatoh, wong sepanjang perjalanan gue udah berhati-hati banget…!”.


Kalo kaki kiri dan kanan bisa ngomong, sekarang mungkin mereka lagi maen salah-salahan, karena jelas kan, kaki kiri yang nyerempet kaki kanan? Tapi untungnya mereka ga bisa ngomong. Gue udah jatoh, ga ada gunanya lagi mencari siapa yang salah, Bukan? Yang perlu dilakukan adalah segera bangkit dari posisi jatoh dan melanjutkan perjalanan. Mungkin yah, saat jatoh, ada rasa malu se-malu-malunya, terlebih banyak orang yang mengamati, menilai, dan mungkin juga yang menertawai. Tapi, peduli apa dengan apa kata orang, kenyataannya emang gue baru aja jatoh, So What? *sumpah pembelaan akut, hehe*


Gue ketawa sendiri jadinya. Kalo kejadian yang baru gue alamin tadi gue serempet-serempetin dengan hidup yang sekarang sedang dijalanin, ada miripnya. Kita ga pernah tahu hidup seperti apa yang akan menyambut kita selanjutnya. Kita ga pernah tahu apakah akan ada insiden-insiden yang membuat mental, semangat, jatoh se rendah-rendahnya. Toh pada kenyatannya, kita ga pernah berpikir untuk jatoh bukan? Yang dilakuin pastinya, berpikir untuk menjalani hidup dengan baik, dengan hati-hati, dan penuh kebahagiaan. Namun, saat Tuhan berkata lain dan membuat hidup kita jatoh sejatoh-jatohnya, ga ada hal lain yang harus dilakukan kecuali bangkit, melanjutkan kehidupan, dan mengintrospeksi diri atas apa yang baru menimpa. Kata seorang temen, hidup yang terjadi hari ini adalah implikasi dari perbuatan-perbuatan di hidup sebelumnya, jadi instropeksi perlu..!! Mungkin saat jatoh, perlu energi lebih untuk bisa bangkit dan melanjutkan hidup (yakin, ga semudah membalikan telapak tangan). Tapi, selama seseorang itu yakin, selalu ada energi untuk kembali bangkit. Seperti yang sudah kita sering dengarkan, “Sesudah kesulitan, ada kemudahan…” dan gue analogikan, “Setelah jatoh, ada kebangkitan…”.


Gue jadi inget saat salah satu penyanyi muda yang jatoh dipanggung saat dia sedang bernyanyi di depan ribuan pasang mata (baik live maupun dari layar kaca). Dia jatoh sejatoh-jatohnya, seluruh badannya memeluk panggung. But heiii, apa coba yang dia lakuin? Dia bangun and show still go on… Setelah pertunjukan selesai, para penonton memberikan applause berdiri, begitu juga dengan para juri (iya, ini salah satu ajang pencarian bakat di Indonesia).


Well, kesimpulan dari tulisan panjang kali lebar ini, kita ga bisa milih untuk ga terjatuh (meskipun udah sangat berhati-hati), tapi kita punya pilihan untuk bangkit setelah kita jatoh, mau bagimana pun bentuk jatohnya (kecuali setelah jatuh, meninggal dunia).


Selamat Hari ini kawan J



You Might Also Like

0 comments

Popular Posts