Atisan itu Rayhan

8:59 AM

Malam apakah yang paling dinantikan sepanjang Minggu? Kalo gue malam Sabtu jawabannya. Entah kenapa, malam Sabtu jadi malam yang sepertinya ga berujung, sesuka hati berleha-leha menikmati setiap detiknya berlalu tanpa sedikit pun khawatir kehilangan waktu. Ya, diantara semua malam, gue mengkhususkan malam Sabtu buat bersenang-senang secara lebih heboh, hehe.

Malam Sabtu kemarin menjadi hari yang special. Bukan karena sehari sebelumnya gajian ataupun ada teman yang niat mau kasih traktiran, tapi lebih dari itu. Malam Sabtu kemarin menjadi special karena gue beruntung dipertemukan dengan si ganteng Rayhan.

Di salah satu sudut mal yang ada di pusat Jakarta, gue dan dua orang teman tengah menanti film terbarunya Will Smith diputar. Kebetulan, kita kebagian jadwal nonton jam setengah sepuluh. Rencananya kita mau nonton yang jam8an, tapi kadung telatnya. Ini semua gara-gara acara rapat kantor yang baru dimulai jam 5.15, which is itu sudah waktunya pulang. Tapi, yah, mungkin ini yang disebut dengan nothing happen without reason. Kalo aja ga ada rapat jam 5.15, kalo aja ga kebagian jadwal nonton jam setengah sepuluh, kalo aja ga nemu spot yang asik, maka ga akan ada yang namanya momen bertemu dengan Rayhan.

Saat itu waktu tepat menunjukan pukul Delapan lebih tiga puluh menitan. Setelah mengisi perut dengan aneka makanan berbahan dasar daging (daging sapi, daging udang, dan daging ayam), gue dan kedua orang teman ngobrol-ngobrol santai sambil sesekali berfoto-foto ria. Persis di samping kami duduk, sedang digelar workshop pemilihan miss kopi Indonesia 2012. Ini kali pertama Gue menyaksikan ajang pemilihan putri-putrian secara live. Dan karena rombongan putri-putrian ini juga, gue sempet nyasar di mal saat itu (tunggu ceritanya di next session J). Sesekali kami tertawa mendengar materi workshop sekitaran kopi yang disampaikan oleh bapak-bapak berperawakan tambun dengan kulit putih kemerah-merahan. Tawa kami semakin menjadi saat mendengar kalimat nyentrik seperti ini, “Kopi bisa meningkatkan gairah seks wanita”, hahaha. Gue yakin, dari semua topik yang disampaikan, peserta workshop pastinya cuma inget bagian itu aja deh, hahaha. Okehh, stop intermesonya. Back to the topic.

Saat sedang haha-hihi ga jelas, seorang bocah kecil melewati meja kami sambil melirik ke arah gue (yakin ke arah lo, Din? Hihi, ngaku-ngaku). Senyum malu-malu perlahan muncul di wajahnya yang ke-indo-indo-an. Melihat tingkahnya yang menggemaskan, spontan kami menyapa bocah kecil yang gue taksir berumur empat tahunan itu. Bocah itu sempat malu-malu melihat kami yang merespon senyumnya tadi. Dia bahkan sempat kembali ke meja ibu bapaknya dengan mata tetap melirik ke arah meja kami. Kami kompak melihat ke arahnya sambil tersenyum geli melihat tingkah lakunya itu. Tanpa ada yang menduga, bocah kecil yang belakangan gue tahu namanya Rayhan itu, menghampiri meja kami. Ga seperti di awal yang cuma melengos sebentaran, dia benar-benar menghampiri meja kami, sambil membawa blackberry ibu-nya. Dia duduk di samping teman gue (sebut saja dia melisa) dan dengan cepat merebut perhatian kakak-kakak yang sedang dalam kegalauan luar biasa ini.


Foto Bareng Rayhan :)

Awalnya, ga ada yang aneh dari Rayhan. Sikapnya seperti anak-anak sebayanya yang lain. Aktif, ceria, dan heboh. Dia menunjukan gambar bis yang ada di blackberry­-nya (canggih ni anak suer deh). Beberapa kali dia memotret kami (mungkin mau dijadikan kenang-kenangan), dan kemudian memutar Bad Day-nya Daniew Powter (waktu jaman gue kecil dulu, lagu paling keren yang pernah gue puter adalah lagunya Bondan yang judulnya si lumba-lumba, asli Indonesia). Kami terkagum-kagum melihat bocah ajaib yang ganteng satu ini. Namun, lama-kelamaan, ada hal yang baru kami sadari. Hey, dia ga merespon benar-benar apa yang gue dan teman-teman sampaikan. Sapaan kami sepertinya dihiraukan. Dia sepertinya hanya fokus dengan hal-hal yang saat itu sedang dilakukan, ada beberapa gerakan dari teman gue yang satunya lagi (sebut dia Sigit), yang langsung ditirunya. Dari ciri-ciri yang gue notice barusan, otak gue mengingat sesuatu, dan berujung pada kata Autis. Ya, prediksi gue mengatakan anak ini Autis, entah masuk kategori autis yang mana. Sesaat ada yang mendesir dalam hati. Perkiraan ini dikuatkan oleh sikap si Ibu yang belakangan membantu si anak menyebutkan namanya yang sebenarnya “Rayhan” menjadi terdengar seperti “Atisan..”.

Ini bukan kejadian pertama bertemu dengan anak dengan kasus Autis ataupun anak-anak dengan kasus-kasus special lainnya. Namun, Ini kali pertama berinteraksi secara langsung dengan anak-anak dengan kasus Autis seperti Rayhan. Dan sesaat gue tersenyum sendiri (menertawakan diri sendiri maksudnya).
Ga ada satupun yang meminta diberikan kondisi special seperti Rayhan bukan? Ataupun kondisi special lain yang membuat mereka terlihat minor dihadapan manusia-manusia normal lainnya? Gue yakin ga ada yang pernah minta. Bahkan, Ibu yang mengandung mereka, setiap malam, pastinya berdoa, berharap diberikan keturunan yang sehat, bisa menjadi penerus keluarga yang membanggakan. Namun, saat Tuhan berkehendak lain, apa yang bisa dikata?

Saat ini, anak-anak kecil itu belum mengerti arti kata Autis. Belum mengenal arti kata down sindrom. Belum mengerti arti kata tuna rungu. Belum mengerti arti kata tuna netra. Belum mengerti banyak istilah rumit yang sebenarnya menggambarkan kondisi mereka saat ini. Mereka hanya bisa merasakan, kadang mungkin tersiksa dengan kondisinya yang seperti itu tanpa ada seorang pun yang tahu penderitaannya. Tapi, yang namanya anak-anak, sepertinya ga kebangetan galaunya kayak gue, ataupun lo semua. Mereka, dibalik kasus spesialnya, tetap menjadi anak-anak, yang bermain, tertawa, bersosialisasi, bahkan sok kenal sok dekat seperti Rayhan ini. Mereka hanya perlu support lebih untuk siap menghadapi fase hidup selanjutnya yang akan dipenuhi dengan pertanyaan, “Kenapa harus gue?”. Dan disinilah, keajaiban kasih sayang orangtua, keluarga, dan lingkungan yang akan memberikan kekuatan dibalik kelemahan yang mereka punya.

Gue pernah melihat beberapa orangtua memberikan kesaksian tentang kasus special yang menimpa anak-anak mereka. Mereka sepakat mengatakan bahwa, untuk bisa saling menguatkan dan membangun, yang harus dilakukan adalah menerima kenyataan bahwa anak-anak mereka memiliki kasus special. Menerima kenyataan dan bukan melakukan penyangkalan. See, lagi-lagi benar apa yang disampaikan kakak gue Dee, bahwa kadang-kadang menerima itu lebih baik (bahkan kadang jauh lebih baik).
Sesaat gue berpikir, seandainya gue ataupun adik gue ataupun anak gue nanti memiliki kasus special seperti itu apakah gue siap menerimanya tanpa melakukan penyangkalan? Sedangkan saat ini saja, dimana kondisi fisik sehat wal-afiat, susah banget yang namanya menerima kondisi saat ini dengan ikhlas, susah banget yang namanya bersyukur. Meskipun sederhana, terima kasih sudah menjadi pengingat buat kita yang sedang galau ini J

Sebuah kado kecil untuk Rayhan yang entah kapan akan bertemu lagi. Semoga saat nanti ada kesempatan bertemu, Rayhan sudah benar-benar menjadi sosok yang mandiri, dan membanggakan. Sebuah origami kertas berbentuk burung yang kata orang menggambarkan sebuah harapan. Harapan bahwa nantinya Rayhan bisa menjadi sosok yang membanggakan.

Selamat Hari ini J   

You Might Also Like

2 comments

Popular Posts