Memetakan Arah, Mengumpulkan Berani

8:08 AM

Jingga berubah warna menjadi biru pekat. Sore berganti malam, masih tetap dipenuhi hiruk pikuk manusia. Kerumunan orang yang beberapa menit lalu bak semut mengerubungi sumber manis, berangsur terurai, satu per satu diangkut si ular besi tujuan Bogor. Seringai panjang mesin commuter menyampaikan salam perpisahan pada hari Selasa yang terasa sekejapan mata saja dan menitipkan rindu pada Sabtu yang jaraknya seperti sewindu. Si ular besi semakin menjauh dan gue masih setia menunggu kereta Depok menjemput, mengantarkan jiwa-jiwa yang lelah pulang ke rumah.

Ada banyak hal menggelayuti pikiran belakangan ini dan semuanya bermuara pada satu pertanyaan, "Is it the way for me?", dannnn pertanyaan itu terus terngiang dalam otak, meringis minta dijawab. Sayangnya, sampai malam ini belum ada jawaban yang bisa diberikan, masih belum tahu jawabannya.

Sempat terlontarkan pertanyaan iseng ke seorang teman waktu itu (yah, meskipun pertanyaan iseng, maksudnya sih serius), "Kalo lo tahu harus pergi, tapi masih belum tahu mau pergi kemana, apa yang akan lo lakuin?" 

Lama tak ada jawaban darinya, sampai akhirnya kursor berkedip-kedip dan jreng-jreng datang sebuah jawaban ngeyel yang bunyinya, "Pegi...Pergi....Get Out...!!!" Tsah...., ada keki yang mampir sebentar namun segera tergusur penasaran lain, "Iya, pergi, tapi pergi ke mana?" Panjang dia menjelaskan, tetapi konsentrasi kadung melayang, tak ada yang nempel di otak. Piss man :) 

"Harus pergi ke mana?" 

Pertanyaan yang lagi-lagi diendapkan sementara sampai ditemukan jawabannya (kalo ga kelupaan dan ga dibuang).

Kadang, ada pertanyaan yang ga bisa langsung ditemukan jawabannya. Semua akan terjawab suatu hari nanti, pada suatu ketika dimana hidup terasa lebih ringan. Perjalanan waktu, kata Adenita. Ya, kapan?

Esok harinya, gue bertemu dengan teman kampus yang merangkap teman sependeritaan tapi ga sesenangan (pas menderita datang, pas senang tak datang-datang :)). Setelah ngobrol ngalor ngidul, tiba-tiba dia bertanya satu hal, " Lo tahu apa yang lo mau, Din?" Kontan gue menjawab, "Iya, gue tahu apa yang gue mau...!". Dia melanjutkan dengan pertanyaan lain, "Lo berani?". Dezinggggg, sebuah pertanyaan telak yang langsung menghujam jantung. Sederhana tapi kena. Ah, bener kata bos gue di kantor tentang the power of simplicity, begini ini rasanya.

Lama mulut terkatup rapat, mencerna ulang pertanyaan si unyil yang satu itu, sampai beberapa saat hanya mata yang menerawang jauh dan hati yang kelojotan bereaksi aktif terhadap pertanyaan yang satu itu. Sebuah senyum menggoda gue, "Lo ga berani ya?". Tak ada jawaban kecuali senyuman, senyuman kecut.

Pada kenyataannya, semua kegundahan yang melanda hati selama ini sumbernya satu itu, belum benar-benar terkumpul keberanian untuk mengakui apa yang diinginkan dan melakukan aksi nyata untuk mewujudkannya. Gue jadi teringat kata-kata teman di kantor, yang persis sama mendengungkan hal itu, "Lo punya banyak pengin, tapi gue ga lihat ada keberanian untuk memulai...". Menghujam jantung, telek, dan benar banget.

Pembelaan jenis apapun ga akan bisa menutupi itu semua, karena kenyataannya, gue belum berani memperjuangkan hal yang sebenarnya ingin dilakukan. Seribu alasan apapun ga akan bisa menutupi itu semua. No disclaimer lagi, titik.

Setiap hari kita menghadapi resiko dari serangkaian pilihan. Mana ada pilihan yang konsekuensinya enak semua? Kalau itu yang terjadi, dunia ini tak ada gejolak, bukan? Dan menurut saya, kalau semua keinginan manusia terpenuhi, maka dunia tak lagi romantis. Candra Widanarko

Pertanyaannya sekarang, kapan mulai memilih untuk berani mengambil resiko?

sumber gambar : ini dan ini








You Might Also Like

0 comments

Popular Posts