Cerita Rinai - Part 1

7:15 AM


“Hidup, kala hilang esensinya, ya seperti ini, ndukk…”, perkataan Mbok Yah kemarin malam masih menggema di telinga, mengalahkan bising yang tercipta dari rentetan panjang klakson mobil, motor, metro, yang telah kehabisan sabar akibat macet yang memaksa pengemudinya bertahan di tengah himpitan kendaraan beroda yang tidak berhenti mengeluarkan karbon, ditambah sekarang, repetan klakson yang sepertinya sukses menaikkan suhu tubuh mereka. Panas luar dalam. Mungkin hujan dirindukan malam ini.

Aku berjalan pelan menuju Stasiun Sudirman. Malam ini, aku ingin berjalan lebih lama, menikmati detail pemandangan yang disuguhkan alam di sepanjang trotoar paling nyaman se-Jakarta ini. Lampu-lampu jalan yang cahayanya memendar indah, gedung pencakar langit yang bercahaya kuning – gedung yang semasa sekolah dulu diidam-idamkan menjadi tempatku mencari nafkah, dan sekarang dirasa menjadi penjara mewah yang tidak hanya memenjarakan ragaku, tapi juga jiwaku- , memandangi langit yang mulai menjadi pekat, berharap menemukan bintang jatuh melesat dari angkasa sana, memotret hidup yang tidak pernah kucicipi lewat amatan terhadap manusia-manusia yang berseliweran di sepanjang trotoar, menghirup udara malam yang mungkin tidak bisa seintim ini dilakukan di malam-malam lainnya, karena deadline yang mematikan. Hanya ingin menikmati malam ini sebaik mungkin sebelum semuanya berakhir, syukur-syukur bisa menemukan esensi hidup seperti yang Mbok Yah katakan semalam, esensi hidup yang sepertinya telah hilang bentuk karena perputaran hidup yang membosankan, menyisakan lubang kosong dalam hati, hampa.

***
Malam kemarin…

Malam itu Mbok Yah menemukanku duduk di ruang tengah sendirian sambil memandangi laptop yang tidak menampilkan apa-apa, kecuali Biru screensaver yang membosankan, mirip hidupku saat ini. Asisten rumah tangga yang sudah mengabdi sepuluh tahun terakhir itu bertanya apakah ada yang bisa dibantu lagi sebelum dia pergi tidur. Aku menggeleng lemah. Mbok Yah, masih berdiri di tempat yang sama, meskipun aku telah menggelengkan kepala berulang kali. Perempuan paruh baya itu malah menghampiri tempatku duduk, ikut duduk di sampingku, kemudian kedua tangannya menyentuh tanganku dengan lembut, hangat menjalar spontan, menyenangkan.

“Kamu, mau cerita sesuatu sama si Mbok, Cah Ayu?”, Mbok Yah, sepertinya menangkap ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, sesuatu yang membuatku terduduk lemas memandangi laptop yang tidak menampilkan apa-apa sejam belakangan, dan menolak tawaran Mbok Yah dengan gelengan lemah, semuanya di luar kebiasaanku. Mbok Yah, meskipun tidak memiliki ikatan darah dengan keluarga kami, dapat begitu mengerti satu per satu kedalaman sifat dan sikap tuannya, perbedaan sikap dapat ditangkapnya menjadi sinyal pertanda tidak baik dari si-tuan. Seperti malam ini, Mbok Yah mampu menangkap sinyal itu dariku.

Mbok Yah menanti jawaban yang tak kunjung meluncur dari mulutku dengan sabar. Tangannya membelai rambutku dengan lembut, persis yang dilakukannya kepada Sri, anak semata wayangnya yang telah meninggal setahun kemarin karena penyakit syaraf kronis. Perempuan paruh baya itu bahkan tidak pernah mengerti nama penyakitnya, dia hanya mengerti, apa yang menimpa anak gadisnya itu adalah takdir Gusti Allah yang tidak bisa ditawar. Apalagi yang bisa dilakukan olehnya kecuali menyambut takdir dengan penerimaan yang baik, ungkapnya saat itu. Mungkin, penerimaannya yang baik terhadap hidup dan takdir lah yang membuatnya menjadi seperti saat ini, sosok hangat yang menyenangkan. Berada di dekatnya membuatku merasa nyaman.

 “Mbok Yah… “, tanyaku lirih

“Ya, Ndukk…”, Mbok Yah membenarkan posisi duduknya, seolah bersiap menerima curahan cerita yang telah menggulung semangatku beberapa waktu ini. “Ada yang mengganggu pikiran kamu kah?”, tanyanya lagi.

Aku mengangguk lemah.

“Kamu bisa cerita sama si Mbok-mu ini, meskipun ndak bisa kasih kamu bantuan apa-apa, paling ndak kamu bisa lebih plong…”, matanya sekarang menatap kedua mataku, meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja.

“Mbok tahu kan, ayah dan ibu ingin aku cepat menikah, dan mereka sudah menjodohkanku dengan anak teman mereka…”, Mbok Yah tersenyum.

“Aku belum siap Mbok…”, sepertinya ada yang menggelinding dari hatiku sesaat setelah kalimat itu diucapkan, meskipun hanya kepada Mbok Yah, bukan kepada ayah dan ibuku, nyaliku terlalu kerdil untuk bisa mengatakan hal tersebut kepada orang tuaku sendiri. Dan aku merasa satu kilogram bebanku terangkat. Sisanya? Entahlah.

“Mbok tahu? Selama ini aku selalu patuh pada perintah ayah dan ibu. Tentang apa yang harus aku kerjakan, tentang apa yang tidak boleh aku kerjakan, dengan siapa aku harus bergaul, cita-cita mana yang baik untukku, sekolah mana yang menurut mereka sangat mumpuni untuk mendukung cita-cita yang sesungguhnya aku tidak mengerti, mumpuni untuk siapa, untukku atau untuk mereka?”, satu kilogram lagi bebanku meluncur bebas dari hati.

“Bahkan ketika aku sudah lulus kuliah pun, yang aku kira di titik tersebut aku bisa hidup dengan pilihanku sendiri, mereka masih saja “mengarahkanku”-katanya, kemana aku harus melangkah..”

Mbok Yah, menyimak satu per satu kalimatku dengan seksama, mata jernihnya menatap mataku yang sekarang mengarah acak dari satu sudut ke sudut lain.

“Aku bisa terima dengan semua perlakuan mereka, dan aku menjalaninya dengan seriang mungkin. Dulu, sebagai anak kecil, aku senang diarahkan. Beranjak remaja, ada sisi hati yang meronta saat mereka menjunjuk satu per satu hal baik sesuai penilaian mereka. Setelah dewasa, separuh hatiku menolak perlakukan mereka, sebagian lagi tidak tega…”, ada yang menggantung di mataku, siap jatuh, namun kutahan.

“Aku tidak ingin menyakiti hati keduanya, di sisi lain aku lelah hidup seperti ini, Mbok…”, pertahananku kalah, aku terisak.

“Ada lubang dalam hati yang sekarang menganga, mencipta ruang hampa yang membuatku sesak…”, isakku semakin kencang.

“Aku lelah…”, Mbok Yah memelukku erat, mentransfer energinya ke tiap sel tubuh yang mulai meringis nyeri. Cukup, tidak perlu lagi kata-kata penyejuk dari mulutnya, pelukan ini sudah lebih dari cukup untuk membantuku meredakan gemuruh dalam hati. Pelukan Mbok Yah mulai meregang saat tangisku reda.
Mbok Yah membantuku menghapus sisa-sisa air mata yang membentuk cap di pipi. Perasaanku sudah jauh lebih baik sekarang.

Hening menggelayuti kami berdua. Hening itu pecah saat Mbok Yah mulai bersuara.

 “Rinai…kamu tahu apa yang membuat Mbok Yah bisa bertahan hidup sampai detik ini meskipun keluarga Mbok Yah sudah meninggal semua?”, malam itu, Mbok Yah, orang yang paling jarang berbicara di rumah kami, bagian paling penting yang mengatur urusan rumah tangga keluargaku selama sepuluh tahun terakhir, mulai bercerita tentang dirinya, berharap satu dua pengalamannya bisa memberiku inspirasi.

“Hidup itu anugerah dari Gusti Allah… setiap orang punya porsi masing-masing dalam hidupnya. Mbok Yah sadar, porsi hidup yang Gusti Allah berikan untuk Mbok Yah, ya seperti ini… Mbok Yah cuma berpikir bagaimana menjalani porsi hidup yang sudah diberikan sebaik mungkin. Ini bentuk penerimaan Mbok Yah terhadap hidup, terhadap takdir..”, Mbok Yah, menarik nafas panjang.

“Menerima hidup, berarti menerima semua konsekuensi yang dihadirkannya…dulu, saat Mbok Yah seumur kamu, Mbok Yah pernah hampir bunuh diri… Rasanya lelah hidup susah, adik Mbok Yah ada banyak dan semuanya butuh biaya. Kekurangan jadi teman Mbok Yah setiap hari. Mbok Yah malu, capek, lelah, hampa….”

Mbok Yah, tersenyum, matanya mengarah acak ke berbagai sudut ruang tengah, berharap menemukan masa lalunya di sana.

“Hidup, kala hilang esensinya, ya seperti ini, ndukk…”

“Hampa… kosong… menjalani hari seperti robot, hanya menjalani kewajiban sebagai manusia untuk hidup. Kalau sudah begitu, untuk apa lagi kita hidup? Makanya, Mbok Yah pernah nekad mau terjun dari Jembatan kampung. Untungnya ga jadi, karna kalau sampe kejadian, amit-amit…”, Mbok Yah menepuk-nepuk perutnya berulang kali, seolah gerakannya itu dapat menjadi tameng dari hal-hal buruk yang mungkin akan menimpanya.

“Kenapa Mbok Yah, ga jadi terjun dari jembatan kampung?”, tanyaku penasaran.

“Mbok Yah ketemu sama Si Rah, adik Mbok Yah nomer tiga. Dia meringis sambil terus memegang perutnya… Si Rah langsung lari ke arah Mbok Yah yang sedang berdiri di Jembatan, memeluk Mbok Yah…”

“Mbak Yah, Rah lapar…”, teriaknya begitu. Mbok Yah seperti ditampar saat itu. Kalau Mbok Yah mati, siapa yang akan bantu bapak dan si-mbok untuk cari makan? Siapa yang akan menjaga adik-adik mbok yang berentet itu? Bagaimana perasaan bapak dan si mbok kalau sampai menemukan anak gadisnya, anak sulungnya mati tenggelam di sungai karena bunuh diri?”

“Mbok Yah, peluk Rah rapat-rapat, kemudian membawanya pulang… rencana bunuh diri Mbok Yah gagal total…”, Mbok Yah terkekeh mengingat masa lalunya itu. Aku ikut tersenyum melihat tertawanya si Mbok yang lepas.

“Saat membawa Rah pulang, yang Mbok pikirkan hanya bagaimana menjaga Bapak, Ibu, dan adik-adik si Mbok supaya bisa hidup senang. Senang menurut Mbok saat itu, cukup melihat mereka bisa makan dan minum tiga kali sehari…”

“dan di situlah titik balik Mbok… mulai menerima hidup dan takdir dengan penerimaan yang baik. Saat esensi hidup ditemukan, saat tujuan itu ditentukan, maka hidup yang dijalani tidak lagi sama, Rinai…”

“Ada energi untuk melangkah, seberat beban yang ada di pundak…”

“Hidup, kala hilang esensinya, ya seperti ini, ndukk… hampa”

“dan kamu mesti bertanya ulang kepada hatimu sendiri tentang esensi hidup yang kamu cari…”, Mbok Yah menatap mataku dalam, kembali meyakinkanku semua akan baik-baik saja.

“dan…”, Mbok Yah menambahkan

“sampaikan apa yang mau kamu sampaikan kepada ayah dan ibumu dengan penyampaian yang baik… si Mbok yakin, setebal apapun dinding yang melintasi inginmu dan ingin keduanya, akan terlewati…”, si Mbok tersenyum, kemudian menyentuh tanganku dengan lembut, gerak tubuh tanda simpat yang memberi efek menyenangkan. “sampaikan apa yang mengganjal di hati mu cah ayu…”, katanya menutup pembicaraan kami malam itu.

***

Sudah hampir setengah jam aku berjalan di trotoar ini. Klakson mobil dan motor saling beradu. Pengemudi motor berteriak-teriak tidak sabar ingin segera maju. Karyawan seusiaku berjalan terburu-buru. Sepasang muda-mudi bercengkrama dengan aroma merah jambu. Pedagang asongan yang masih bisa tersenyum di balik pekatnya malam dengan penerangan seadanya. Peminta-minta tua yang dari mulutnya penuh doa. Tukang ojek dengan muka masamnya menanti penumpang. Kondektur bis yang tersenyum menggoda mbak-mbak dengan rok mini. Grup pengamen dengan biola, gitar, dan harmonikanya, yang berorkestrasi di tengah hiruk pikuk jalanan Sudirman, salah seorang dari mereka sepertinya berperan sebagai pemimpin, bergaya seolah dia ada konduktur orchestra ternama yang saat ini sedang memainkan harmoni hidup, kombinasi biola, gitar, harmonika, dan hiruk pikuk jalan yang membentuk komposisi nada, “ do re mi fa so la ti do dan oooo…….”.

“hooo…… tahukah engkau, ini hatiku… ini jiwaku… tak mungkin dapat ku berpaling…. Ini diriku… ini hidupku… dapatkah kau? Mendengarnya….”, lengkingan suara pengamen berdengung ditelinga, bercampur dengan klakson, cacian, dan dingin malam yang mulai merambati tubuh.

Esensi hidup itu, belum kutemukan malam ini… Tapi paling tidak, aku bisa mengecap malam ini, dengan cara berbeda.

Sudirman, 26 January 2013
Rinai

You Might Also Like

3 comments

Popular Posts