Bukan Review :: The Last Episode of Supernova, Intelegensi Embun Pagi

8:37 PM

Kau hadir dengan ketiadaan
Sederhana dalam ketidakmengertian
Gerakmu tiada pasti
Namun aku terus di sini
Mencintaimu
Entah Kenapa – Dee


Kalau boleh memilih satu kalimat yang pas untuk menggambarkan perasaan saya saat membuka halaman demi halaman Intelegensi Embun Pagi, episode penutup Serial Supernova yang pertama kali naik cetak ketika saya masih duduk di bangku SMP, maka saya akan memilih kalimat ini, “Kadang, lo ngga perlu “paham” dengan apa yang dibaca, Just Enjoy it!”

Kalimat itu bergema berkali-kali di kepala saat saya membaca serial ini. Imajinasi tingkat tinggi dari sang penulis tidak bisa direngkuh dalam satu kali membaca, mungkin diperlukan ulangan lebih dari dua kali untuk bisa memetakan imajinasi sang penulis atas cerita yang dibangunnya itu. But hei, peduli amat imajinasi saya yang “nyampe” atau “ngga nyampe”, saya benar-benar menikmati setiap rangkaian kata dan sekuens yang ada di novel tersebut. Saya menikmatinya sungguh!

Pertama kali saya membaca serial Supernova bukan dari episode Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh, melainkan episode Partikel pada tahun 2012. Waktu itu saya pinjam novel tersebut dari temen kuliah dan Partikel sukses membuat saya penasaran dengan seri Supernova sebelum dan sesudahnya. Sejak membaca partikel, sudah ada beragam pertanyaan nyangkut di kepala, membuat kening saya berkerut dan akhirnya bertanya-jawab sendiri, “Ini kan cuma fiksi, sah-sah aja kali kalau penulisnya membuat adegan seperti di Glastonbury, tentang ufo, tentang “tour” antardimensi, cerita mistis dan bukit jambul!”. Saat itu, perasaannya kurang lebih sama dengan perasaan saat menyelesaikan potongan kisah dalam Intelegensi Embun Pagi, Imajinasi tidak berhasil terengkuh secara utuh, namun tetap cinta dan menikmati ceritanya.

Menurut saya, Dee bukan cuma cerdas merangkai kata dan jalan cerita yang mampu menyerap atensi pembacanya, tapi dia punya imajinasi yang membuat tulisannya menjadi tidak biasa, antimainstream! Meski tema yang diangkat “tidak biasa”, tulisannya tidak kehilangan sisi humanisme yang membuat saya tersenyum dengan celetukan-celetukan random dari para tokohnya seperti Alfa, Bodhi, Kell, Toni “Mpret”, atau “Etra” si Petir, dan juga membuat hati meringis dengan drama kehidupan yang tersaji seperti kisah Gio dan Zarah, Simon dengan Firas, atau Ishtar dan Alfa. Gaya bercerita Dee dekat dengan kehidupan sehari-hari, jadi mungkin alasan inilah yang membuat saya bisa menikmatinya sampai tetes terakhir.

Kalau kita lakukan test dengan meminta orang-orang membaca tulisan ini tanpa embel-embel Judul dan nama penulisnya, kemungkinkan besar orang-orang tersebut akan mengira tulisan ini adalah karya terjemahan penulis dari Newyork Times, karena itulah yang saya rasakan (well mungkin terlalu subjektif penilaian ini, tapi kan ini tulisan saya, jadi terserah saya mau nulis apa, hehe)! Saya berasa sedang membaca novel terjemahan semacam To Kill a Mockingbird, suer!

Infiltran. Sarvara. Peretas. Kisi. Asko. Kandi. Portal. Sunyavima. Samsara. Ayahuasa. You named it!

Bogor. Jakarta. Bandung. Medan. Peru. New York. Brazil. Tibet. Portal Bukit Jambul. Sianjur Mula-Mula.

Beragam hal yang  membuat saya mengerti kenapa dibutuhkan waktu panjang (kurang lebih 15 tahun) untuk bisa sampai ke episode terakhir.

“Mengetik di Laptop hanyalah sebagian dari menulis itu sendiri. Mengkhayal, mengobservasi, membaca, dan meriset berlangsung nyaris tanpa henti dan merupakan bagian inheren dari proses saya berkarya”, Kata Dee di halaman ke-699 dari buku ini. Proses kreatif yang membuat saya ingin ketemu langsung dengan Dee dan menyerap pengalamannya di sepanjang perjalanan kreatifnya tersebut.

Pada akhirnya saya sampai ke satu titik yang sama dari tulisan-tulisan Dee. Makna penerimaan yang menurut saya selalu hadir dalam cerita yang disuguhkan. Penerimaan akan siapa diri kita, masa lalu kita, dan juga masa depan kita yang sudah dituliskan. Sebuah penerimaan yang membuat kita berdamai dengan diri sendiri dan menemukan pertanyaan yang selama ini dicari #tsah. “Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah menerima”, itu benar adanya.   

Dan saya pun kehabisan kata untuk menulis, kebingungan untuk mengakhiri tulisan acak yang perlu saya garis bawahi bukan sebuah review . Tulisan ini murni adalah ungkapan perasaan saya pribadi atas karya sastra yang luar biasa, membuat saya semakin bangga sebagai orang Indonesia. Why? Indonesia juga punya “JKRowling”-nya sendiri.

Satu pertanyaan tersisa untuk ditanyakan kepada Dee (jika bisa bertemu langsung), “Kira-kira akan ada lanjutan lagi ngga yah dari Serial Supernova ini?”, jujur saya penasaran sama kehadiran peretas puncak, percintaan Zarah & Gio, Etra & Toni “Mpret”, dan tidak ketinggalan perjalanan panjang Bodhi & Kell, hehe. Mungkin ini beda novel sama sinetron seperti Tersanjung yang akan ada tersanjung sampai ber-xx episode, penulisnya menyisakan ruang kepada pembaca untuk melanjutkan “ceritanya” sendiri, sesuai dengan imajinasi masing-masing. Kebebasan, tanpa batas!

Happy 15th Year Supernova, dan Bangkit Terus Karya-karya anak Indonesia J * Berasa kampanye dari instansi mana gitu xixi

Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah menerima” – Dewi Lestari, Rectoverso





You Might Also Like

0 comments

Popular Posts