Episode : Melepaskan
7:52 AM
Biru…
Ada saat di mana melepaskan menjadi satu-satunya cara untuk
bisa menemukan. Dan aku berharap, melepaskanmu adalah caraku untuk bisa
menemukanmu kembali. Suatu saat nanti.
Jingga, 17 February 2012
***
Jingga tahu, dia sudah lama kehilangan Biru. Raga Biru
mungkin masih setia duduk di sampingnya setiap malam, menemaninya berceracau
panjang lebar tentang lelucon hidup yang baru saja dilewati atau sekedar
mengulang cerita yang tidak pernah ada label basi buat Jingga. Setiap lelucon
dan pengulangan cerita adalah terapi jiwa Jingga, sekaligus alasan baginya agar
bisa berdekatan dengan Biru. Meskipun begitu Jingga tahu, jiwa dan hati Biru
sudah lama pergi meninggalkannya. Biru sudah menemukan rumahnya. Dan sayangnya
Jingga juga tahu, bukan Jingga rumah yang di tuju Biru.
Malam ini, kedua sahabat itu duduk di tempat istimewa. Bukan
di balkon rumah susun yang penuh angin dan bising oleh serangga, kicau para
tetangga, atau hiruk pikuk jalanan yang merayap hingga ke sisi-sisi balkon,
melainkan di sebuah rumah makan milik salah seorang Haji yang juga tinggal di Rumah
Susun Sembilan, rumah susun yang ditinggali Biru dan Jingga lima tahun terakhir
ini. Tempatnya menyenangkan meskipun tanpa live
band yang mengiringi. Makanannya enak dan harganya bersahabat dengan
kantong mereka yang saat ini masih berstatus “calon pekerja tetap”. Mereka
selalu mampir ke tempat ini setiap ada momen spesial yang dirasa penting untuk
dirayakan. Momen ulang tahun. Momen kelulusan. Momen lulus interview. Momen
lulus test psikologi. Dan serentet momen-momen penting bertema “bahagia” lainnya
yang dirayakan di tempat ini. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tempat ini juga
akan merekam momen tanpa label “bahagia” seperti biasanya.
Jingga dan Biru duduk di tempat biasa. Sudut paling kanan
rumah makan, tepat di samping buffet tua yang memajang piringan hitam yang
sudah tidak berfungsi lagi, beberapa foto Haji Ali dan keluarganya, dan radio
tua yang malam ini memutar lagu-lagu tahun 70an, koleksi Haji Ali semasa muda.
Sudut itu biasanya terasa sangat menyenangkan, namun malam ini terasa beda. Ada
kekakuan yang tidak biasanya hadir di antara mereka berdua. Jingga terlihat
sedang berpikir, Biru pun sama. Sepuluh menit pertama yang dihabiskan dengan
adegan saling diam yang tidak biasa.
“Jingga….!”, Biru akhirnya memecahkan sunyi diantara mereka
berdua. Jingga juga hampir membuka mulutnya kalau saja Biru tidak bersuara
terlebih dulu.
“Iya…”, Jingga menjawab
pelan.
“Gue pengen ngomong sesuatu…”, Biru ragu-ragu mengutarakan
maksud kedatangannya malam ini ke kamar Jingga kemudian mengajaknya turun ke
rumah makan haji Ali ini. Ada sesuatu yang ingin disampaikan Biru. Malam ini.
Sebelum semuanya terlambat.
Jingga tahu apa yang akan diutarakan Biru malam ini dan dia
tidak siap kalau harus mendengarkan semuanya malam ini. Dia sudah bersusah
payah untuk menolak ajakan Biru untuk keluar namun akhirnya gagal karena
Sahabatnya keras kepala menungguinya di depan kamar tiga jam lamanya, membuat
tetangganya yang lain menyuruh Jingga memenuhi permintaan Biru sebelum
sahabatnya itu nekad bermalam di depan kamarnya.
***
Tiga bulan sebelumnya
Siang itu Biru datang menghampiri Jingga yang sedang duduk di
balkon sambil membersihkan peralatan fotonya. Biru memakai kemeja marun dengan
lengan yang digulung, celana jeans biru dongker, dan sepatu sneakers yang baru
pertama kali di lihat Jingga. Penampilan yang di luar kebiasaan Biru yang cukup
mencengangkan Jingga.
“Nyett…. kece bener lo hari ini, mau kemana?”
“Nge-date, Nyet….!”
“Anjritttt… lo mau nge-date sama tante girang yang ada di
lantai 2 nyett?”
“Taeeee… lo pikirr???”, Jingga tertawa melihat ekspresi kesal
sahabatnya itu. Biru melempar Jingga dengan sepatu barunya, sukses membuat
Jingga terjerembab menghidari lemparan sepatu Biru. Kedua sahabat itu kemudian
saling lempar sepatu sampai mereka berhenti karena capek.
“Jadi, lo mau nge-date sama Lara?”, Jingga mulai menanggapi
serius cerita Biru.
Biru mengangguk sambil tersenyum, dia kemudian melanjutkan
cerita tentang Lara, gadis yang ditemuinya di lift tiga hari lalu yang ternyata
teman sekantornya yang baru saja pindah dari Kota Malang.
Biru bercerita panjang lebar tentang Lara yang begini,
tentang lara yang begitu, tentang lara yang seperti ini, tentang lara yang
seperti itu, tentang perasaan aneh yang tiba-tiba muncul dalam hati Biru sesaat
setelah Lara membersihkan pakaiannya yang terkena tumpahan soda, persis cerita
melankolis di tivi, dengan ekspresi paling lepas yang pernah di lihat Jingga.
Ada aura lain yang muncul dari wajah Biru saat bercerita
tentang Laranya itu. Aura yang hanya dimiliki oleh orang yang sedang jatuh
cinta.
“Nyettt… gue ngerasa ada yang beda dengan Lara… dan sesuatu
ini bikin gue pengen terus ada di deket dia…”
Jingga tersenyum mendengar perkataan sahabatnya barusan. “Nyett,
itu pertanda…”
“Pertanda apaan?”, Biru mendekatkan wajahnya ke arah Jingga
dengan ekspresi ingin tahu
tingkat tinggi.
“Pertanda kalo lo sakit jiwaaa….!”, Jingga tertawa sambil
berlari cepat ke arah kamarnya sebelum Biru melemparnya dengan sepatu karena perkataannya
barusan.
“Asemmmm…..!”, teriak Biru sambil melempar sepatunya ke arah
Jingga yang kadung masuk kamar sebelum sepatunya itu mengenai tubuh mungil Jingga.
Tawa Jingga masih mengudara sampai beberapa menit kemudian tawanya berubah
menjadi tangisan, tanpa ada seorang pun yang tahu kejadian itu.
***
“Jingga…!”, suara Biru membuyarkan lamunan Jingga. “Gue
bingung harus mulai ini dari mana…!”, Biru terlihat salah tingkah, sikap yang
tidak biasa muncul ketika sedang berhadapan dengan Jingga.
“Gue tahu apa yang mau lo omongin..!”, Jingga mulai
berbicara. Ada yang tertahan saat kalimat terurai dari mulutnya saat itu. “Jadi
lo ngga perlu mulai dari mana, ataupun dengan apa…”
“Lo tahu?”, Biru memasang muka penasaran, wajahnya di
dekatkan ke wajah Jingga. Jingga menjawab pertanyaan itu dengan agukan.
***
Satu minggu sebelumnya
Semenjak kehadiran Lara dalam hidup Biru, intensitas
pertemuan kedua sahabat itu semakin berkurang. Tidak ada lagi weekdays ngobrol sampai larut di balkon,
tidak ada lagi hari libur dengan foto keliling di rumah susun, tidak ada lagi
momen spesial yang dirayakan berdua di rumah makan haji Ali, tidak ada cerita “geje”
yang mewarnai hari-hari keduanya. Waktu berputar cepat tanpa arti bagi Jingga.
Dan sebaliknya, waktu beranjak terlalu cepat bagi Biru, terlalu cepat untuk
setiap momen berarti dengan Lara.
Malam itu, Biru duduk di balkon bersama Tara, sahabatnya yang
lain. Keduanya terlihat sedang berdialog serius sambil merokok. Saking
seriusnya, mereka tidak menyadari ada satu orang lagi yang sedang duduk di
sudut balkon, sudut paling kanan balkon tepat di
bawah jemuran. Orang itu
adalah Jingga.
“Gue bingung gimana
harus cerita ini ke Jingga, Ra..”.
“Nyett… gimana pun juga, Jingga itu sahabat lo dan ga
seharusnya lo nyimpen ini semua dari dia..!”, Tara menyesap kopinya kemudian
menyalakan rokok ketiganya dalam satu jam terakhir itu.
“Gue takut nyakitin hati Jingga, nyett…!”
“Akan lebih nyakitin lagi kalo lo nyembunyiin ini dari dia…bahkan
lebih ngeri klo Jingga tahu berita ini dari orang lain…!”, Tara mengepulkan
asap rokok ke udara, dua orang sahabat itu menghela nafas bersamaan.
“Menurut lo, Jingga bisa ngerti ga ya dengan keputusan gue
ini, Ra”
“Menurut lo?”, Tara menjawab pertanyaan Biru dengan
pertanyaan, dan sukses membuat Biru diam sepuluh menit kemudian.
“Gue butuh waktu untuk bilang ini ke Jingga… satu minggu lagi
mungkin…!”
“Terserah lo, nyett… lebih cepat, lebih baik…!”
Dua orang sahabat itu kembali menghela nafas. Tidak ada
dialog lagi. Hanya kepulan asap rokok yang bergantian menari di udara.
Di sudut lainnya, Jingga menghela nafas sendirian. Ada yang
berdenyut dalam hatinya saat mendengar keputusan Biru untuk meninggalkan rumah
susun Sembilan dan pergi ke Malang bersama Lara. Pergi meninggalkannya
sendirian.
***
“Maafin gue ya...”
“Ga ada yang perlu dimaafin…”
Adegan diam kembali melingkupi kedua sahabat itu.
“Biru..”
“Ya?”
“Lo tahu apa yang paling dinantikan orang setiap hari dalam
hidupnya?”
“Hmm…!”, Biru berpikir, hampir akan menjawab jika tidak
dipotong oleh Jingga.
“Pulang ke rumah…ke tempat seharusnya dia berada..!”, Kata
Jingga sambil tersenyum.
Biru diam. Jingga diam. Adegan diam yang membekukan dua orang
sahabat di ruang tanpa pendingin itu. Biru dan Jingga sedang bermain-main
dengan pikiriannya masing-masing.
“Dan lo tahu ga?”
“Apa..?”, Biru penasaran.
“Hal paling sulit yang harus dilakukan seseorang padahal dia
tidak ingin melakukannya?”
Biru hampir menjawab namun kembali dipotong Jingga.
“Melepaskan…Melepaskan seseorang yang sangat dirindukan untuk
pulang ke rumahnya…”
Hening kembali menggelayuti dua orang sahabat itu. Alunan musik
Jazz yang mengalun dari radio Haji Ali yang biasanya menceriakan suasana,
menguap tanpa arti.
Jingga memberanikan diri mengangkat mukanya, dan menatap Biru
dengan seksama.
“dan lo tau ga?”, tanya Jingga lagi.
“Penyesalan apa yang susah untuk hilang?”
Biru diam. Jingga tersenyum.
“Penyesalan karena gue harus ngelepasin lo pulang ke rumah
yang ingin lo tuju, tanpa
sebuah pembelaan…!”
Biru mengangkat wajahnya dan berbalik menatap Jingga. Dia
melihat ada yang menggantung di mata Jingga. Siap jatuh.
“Melepaskan lo mungkin akan jadi satu hal yang akan gue
sesali seumur hidup, Ru. tapi akan lebih menyesakkan lagi kalau gue harus
menahan lo untuk ga pergi kemanapun tapi cuma raga lo yang ada di sini… bukan
jiwa dan hati lo…”, Jingga menghela nafas panjang kemudian tersenyum.
“Kapan lo berangkat?”, tanya Jingga lagi.
“Senin besok..!”, Jawab Biru.
“Sorry, gue ga bisa nganter lo ya nyettt… sibuk gue..!”, Jingga
tersenyum lagi, berusaha mencairkan beku yang menjalari tubuhnya sejak se jam
yang lalu.
Biru menatap Jingga baik-baik kemudian dia berkata, “Thanks
ya, Ingga..”.
***
2 comments