Tiga Anda, Tiga Cerita, Satu Tanda Tanya ? - Part 1
4:42 AM
“Anda…kapan nikah?”, pertanyaan Ibu pagi tadi terus terngiang
dalam pikiranku. Jujur, aku sangat
terpengaruh dengan pertanyaan Ibu yang satu itu. Biasanya aku akan sangat cuek saat
orang lain menanyakan hal yang sama. Dengan mudah, aku akan menjawab pertanyaan
itu dengan jawaban paling meyakinkan, “Insya Allah, secepatnya…!”, dan mereka,
orang-orang yang bertanya itu akan mengamini doaku sambil pergi berlalu. Ya,
mereka hanya bertanya saja, hanya ingin tahu saja. Jika jawabannya tidak
menyenangkan, mereka akan bersimpati, kemudian memberikan doa-doa manis terkait
perjodohan dan pernikahan. Jika jawaban menyenangkan, mereka akan mengamini dan
pergi berlalu begitu saja dengan embel-embel yang menurutku setengah basi-basi,
setengah tulus, “Jangan lupa undangannya ya…!”. That’s it, pertanyaan tentang kapan nikah akan berhenti sampai di
situ saja.
Kali ini berbeda, yang bertanya adalah Ibuku sendiri. Aku
tidak bisa menjawab pertanyaan Ibu dengan jawaban standar seperti yang
kuberikan kepada orang-orang itu. Ibu akan mencecarku sampai aku tidak bisa
menjawab lagi jika aku hanya mengatakan, “Insya Allah, secepatnya…”. Secepatnya itu
kapan? Dengan siapa? Kapan calonnya akan dibawa ke rumah? Dan segambreng
pertanyaan lain yang sudah pasti tidak bisa kujawab karena memang belum ada
jawabannya. Aku sangat tahu sifat Ibu. Sikap kritisnya akan dengan mudah
membuatku skak mat.
“Umur kamu itu sudah cukup untuk menikah, Anda. Mau tunggu
apalagi?”, Ibu berkata-kata lembut sambil memegangi ubun-ubunku, kebiasaan yang
dia lakukan sejak aku masih kecil dulu. Kebiasaannya ini dilakukan hanya di
waktu-waktu tertentu saja, yaitu di saat sedang mengobrol hal-hal penting
seperti ini. Saat bertanya tentang sekolahku. Saat bertanya tentang
pekerjaanku. Saat bertanya tentang alasan mengapa aku menangis. Saat bertanya
tentang sikapku yang aneh. Saat dia bertanya hal-hal sensitif terkait privasiku,
seperti saat ini. Mungkin ini cara yang dilakukannya untuk membuatku merasa
nyaman agar bisa dengan lancar menceritakan bagian paling privasi dariku.
Kali ini, cara ibu membuatku merasa nyaman untuk bercerita
tidak terlalu berhasil. Ada yang tertahan untuk diucapkan. Ada gengsi sebesar
batu yang membuatku sulit mengatakan bahwa sampai saat ini anaknya masih belum
mempunyai calon untuk mendampinginya di sisa hidup yang entah berapa lama lagi.
Ada rasa takut ibu kecewa mendengar pernyataan jujurku bahwa aku masih mencari
calon suamiku yang entah ada di mana. Aku membisu, tak bicara.
Melihatku diam, Ibu berhenti bertanya. Dia mungkin menyadari
ada yang ku sembunyikan dan belum bisa kubagi.
Dia pergi menuju dapur, katanya ingin menyiapkan bekal makan siangku. Ibu
tersenyum menutupi perasaannya yang sesungguhnya. Dia berlalu dari hadapanku
dan aku hanya bisa memandangi punggungnya dengan rasa bersalah tingkat tinggi.
***
“Biipppp…bipp…”
“Halo, Anda…”, suara cempreng Ria merepet di handset-ku. Kupingku terasa pengang
seketika. Aku tidak habis pikir dengan sabahatku yang satu ini, bagaimana bisa,
badannya yang ceking itu punya suara secempreng ini, mendengar suaranya satu
menit saja sudah cukup membuat telinga terasa pengang selama sepuluh menit.
Ku jauhkah sedikit handset
dari telingaku untuk menghindari suara cempreng Ria. Kuturunkan volumenya
hingga ke level terendah. Bayangkan, meskipun volume handset sudah kuturunkan ke level terendah, suara Ria masih
terdengar cempreng, namun tidak seperti sebelumnya.
“Kenapa, Ri?”, tanyaku sekenanya. Pikiranku sedang mengarah
pada pertanyaan Ibu, jadi tidak banyak ide untuk bertanya basa-basi sekedar
untuk meladeni Ria saat ini.
“Lo dateng ke nikahan Rinai Minggu depan, Nda?”, suaranya
terdengar lebih baik.
Aku baru ingat, Minggu ini ada dua atau tiga undangan
pernikahan. Satu undangan pernikahan teman SMP. Satu undangan teman kuliah.
Satu undangan teman kerja. Tiga undangan di dua hari weekend. Hahhh, kenapa
orang-orang menikah bersamaan di bulan ini sih? Musim nikah? Aishhh…
“Gue belum tahu, Ri…banyak banget undangan minggu ini..”,
entah kenapa aku merasa tidak se-excited biasanya saat berurusan dengan undangan pernikahan. Undangan pernikahan selalu membuatku excited karena inilah saatnya bertemu dengan teman-temanku, reuni dadakan yang biasanya berakhir menyenangkan. Kapan lagi bisa mengumpulkan teman-teman dalam waktu bersamaan kecuali saat ada acara pernikahan? Namun kali ini sensasi yang mengalir saat membahas masalah undangan pernikahan tidak lagi sama. Ada rasa yang sulit dijelaskan. Rasa iri mungkin. Entahlah. Komplikasi rasa.
“Hmmm, okelah, kalo nanti lo mau berangkat ke nikahan Rinai,
kabar-kabarin gue yah..bye, cyinnn…”
“Tuuuutttt…tutttt…tutttt”
Aku menghela nafas panjang. Rasanya ada beban sebesar batu kali yang menggelendot di punggungku. Berat. Boleh tidak kutinggalkan saja dijalanan?
Ada berapa fase hidup sih? Apakah setiap fase hidup manusia itu harus selalu ada yang namanya menikah? Jika memang harus selalu ada, kenapa tidak semua manusia mendapatkan waktu yang sama untuk melewati fase yang satu itu? Kenapa harus ada yang duluan dan belakangan. Kenapa harus dia yang duluan dan aku belakangan. Dan kenapa sekarang aku harus berada dalam situasi yang tidak menyenangkan seperti ini. Bikin perut melilit. Arghhh...
5 comments