Kau hadir dengan ketiadaan
Sederhana dalam
ketidakmengertian
Gerakmu tiada pasti
Namun aku terus di sini
Mencintaimu
Entah Kenapa – Dee
Kalau boleh memilih
satu kalimat yang pas untuk menggambarkan perasaan saya saat membuka halaman
demi halaman Intelegensi Embun Pagi, episode penutup Serial Supernova yang
pertama kali naik cetak ketika saya masih duduk di bangku SMP, maka saya akan
memilih kalimat ini, “Kadang, lo ngga perlu “paham” dengan apa yang dibaca, Just Enjoy it!”
Kalimat itu
bergema berkali-kali di kepala saat saya membaca serial ini. Imajinasi tingkat
tinggi dari sang penulis tidak bisa direngkuh dalam satu kali membaca, mungkin
diperlukan ulangan lebih dari dua kali untuk bisa memetakan imajinasi sang
penulis atas cerita yang dibangunnya itu. But hei, peduli amat imajinasi saya
yang “nyampe” atau “ngga nyampe”, saya benar-benar menikmati setiap rangkaian
kata dan sekuens yang ada di novel
tersebut. Saya menikmatinya sungguh!
Pertama kali
saya membaca serial Supernova bukan dari episode Ksatria, Putri, dan Bintang
Jatuh, melainkan episode Partikel pada tahun 2012. Waktu itu saya pinjam novel
tersebut dari temen kuliah dan Partikel sukses membuat saya penasaran dengan
seri Supernova sebelum dan sesudahnya. Sejak membaca partikel, sudah ada beragam
pertanyaan nyangkut di kepala, membuat kening saya berkerut dan akhirnya bertanya-jawab
sendiri, “Ini kan cuma fiksi, sah-sah aja kali kalau penulisnya membuat adegan
seperti di Glastonbury, tentang ufo, tentang “tour” antardimensi, cerita mistis dan bukit jambul!”. Saat itu,
perasaannya kurang lebih sama dengan perasaan saat menyelesaikan potongan kisah
dalam Intelegensi Embun Pagi, Imajinasi tidak berhasil terengkuh secara utuh,
namun tetap cinta dan menikmati ceritanya.
Menurut saya, Dee
bukan cuma cerdas merangkai kata dan jalan cerita yang mampu menyerap atensi
pembacanya, tapi dia punya imajinasi yang membuat tulisannya menjadi tidak
biasa, antimainstream! Meski tema
yang diangkat “tidak biasa”, tulisannya tidak kehilangan sisi humanisme yang
membuat saya tersenyum dengan celetukan-celetukan random dari para tokohnya seperti Alfa, Bodhi, Kell, Toni “Mpret”,
atau “Etra” si Petir, dan juga membuat hati meringis dengan drama kehidupan
yang tersaji seperti kisah Gio dan Zarah, Simon dengan Firas, atau Ishtar dan
Alfa. Gaya bercerita Dee dekat dengan kehidupan sehari-hari, jadi mungkin alasan
inilah yang membuat saya bisa menikmatinya sampai tetes terakhir.
Kalau kita
lakukan test dengan meminta
orang-orang membaca tulisan ini tanpa embel-embel Judul dan nama penulisnya,
kemungkinkan besar orang-orang tersebut akan mengira tulisan ini adalah karya
terjemahan penulis dari Newyork Times, karena itulah yang saya rasakan (well
mungkin terlalu subjektif penilaian ini, tapi kan ini tulisan saya, jadi
terserah saya mau nulis apa, hehe)! Saya berasa sedang membaca novel terjemahan
semacam To Kill a Mockingbird, suer!
Infiltran.
Sarvara. Peretas. Kisi. Asko. Kandi. Portal. Sunyavima. Samsara. Ayahuasa. You named it!
Bogor.
Jakarta. Bandung. Medan. Peru. New York. Brazil. Tibet. Portal Bukit Jambul.
Sianjur Mula-Mula.
Beragam hal
yang membuat saya mengerti kenapa
dibutuhkan waktu panjang (kurang lebih 15 tahun) untuk bisa sampai ke episode
terakhir.
“Mengetik di
Laptop hanyalah sebagian dari menulis itu sendiri. Mengkhayal, mengobservasi,
membaca, dan meriset berlangsung nyaris tanpa henti dan merupakan bagian
inheren dari proses saya berkarya”, Kata Dee di halaman ke-699 dari buku ini. Proses
kreatif yang membuat saya ingin ketemu langsung dengan Dee dan menyerap
pengalamannya di sepanjang perjalanan kreatifnya tersebut.
Pada akhirnya
saya sampai ke satu titik yang sama dari tulisan-tulisan Dee. Makna penerimaan
yang menurut saya selalu hadir dalam cerita yang disuguhkan. Penerimaan akan
siapa diri kita, masa lalu kita, dan juga masa depan kita yang sudah
dituliskan. Sebuah penerimaan yang membuat kita berdamai dengan diri sendiri dan
menemukan pertanyaan yang selama ini dicari #tsah. “Kadang-kadang pilihan yang
terbaik adalah menerima”, itu benar adanya.
Dan saya pun
kehabisan kata untuk menulis, kebingungan untuk mengakhiri tulisan acak yang
perlu saya garis bawahi bukan sebuah review . Tulisan ini murni adalah
ungkapan perasaan saya pribadi atas karya sastra yang luar biasa, membuat saya
semakin bangga sebagai orang Indonesia. Why?
Indonesia juga punya “JKRowling”-nya sendiri.
Satu pertanyaan tersisa untuk ditanyakan
kepada Dee (jika bisa bertemu langsung), “Kira-kira akan ada lanjutan lagi ngga
yah dari Serial Supernova ini?”, jujur saya penasaran sama kehadiran peretas
puncak, percintaan Zarah & Gio, Etra & Toni “Mpret”, dan tidak
ketinggalan perjalanan panjang Bodhi & Kell, hehe. Mungkin ini beda novel
sama sinetron seperti Tersanjung yang akan ada tersanjung sampai ber-xx
episode, penulisnya menyisakan ruang kepada pembaca untuk melanjutkan “ceritanya”
sendiri, sesuai dengan imajinasi masing-masing. Kebebasan, tanpa batas!
Happy 15th
Year Supernova, dan Bangkit Terus Karya-karya anak Indonesia J * Berasa kampanye dari
instansi mana gitu xixi
“Kadang-kadang pilihan yang terbaik adalah
menerima” – Dewi Lestari, Rectoverso