Agenda Sabtu pagi yang selalu
saya nantikan adalah lari pagi. Sejak setahun terakhir, saya ketagihan dengan
yang namanya olahraga lari dan skipping.
Bukan lari dari kenyataan ataupun skip
dari masalah hidup yang datang silih berganti ya, hehe, meskipun memang salah satu
alasan rutin lari atau skipping
adalah bisa keluar dari kenyataan dan masalah meski hanya sebentar saja #nahkan.
Pagi ini, seperti biasa saya
mulai menyusuri Jogging Track yang selalu
saya lewati tiap minggu. Sepanjang perjalanan tersebut, tiga bendera kuning
menyambut di tiap tikungan, membuat bulu kuduk saya berdiri dan hati merasa “nyess”
sendiri. Di saat saya menikmati pagi dengan olahraga, ada (paling tidak) tiga
keluarga yang sedang berduka. Ada rasa syukur terselip dalam hati karena masih
diberikan nikmat hidup sampai detik tadi dan detik ketika saya menulis blog ini.
Dan ingatan saya pun melayang ke kejadian yang baru saja saya alami tadi malam.
Kemarin malam, saya pulang kerja
menggunakan commuter line dari
Stasiun Tebet. Saat itu, ada dua kereta yang saya biarkan berlalu karena
terlalu padat untuk bisa menampung satu orang penumpang lagi. Saya menunggu
sambil makan pisang coklat yang dijual abang-abang di pelataran Stasiun Tebet
yang murah meriah dan enak, 2000 rupiah saja per potong. Saat antrian penumpang
mulai berangsur surut, dan kereta yang datang terlihat lebih longgar, saya
memutuskan untuk naik dan pulang malam itu.
Tidak
disangka-sangka, antrian penumpang membludak kembali di Stasiun Cawang dan
Kalibata, membuat ruang gerak dan bernafas semakin terbatas. Bersyukur, saya
termasuk “Senior” dalam urusan per-commuter
line – an, sepadat apapun masih bisa menikmati apa yang bisa dinikmati (read
: dengar lagu dari handphone, hehe).
Sepanjang
perjalanan, tercium aroma kabel terbakar, namun karena aroma kabel terbakar
sudah sering terjadi di commuter
membuat para penumpang acuh saja, dan melanjutkan aktivitas masing-masing
seperti main handphone, tidur, ngobrol dengan teman perjalanan, atau seperti
saya, bengong sambil mendengarkan playlist yang isinya dua lagu, yang sudah
puluhan kali diputar ulang hari itu.
Sampai
akhirnya, di Stasiun Universitas Indonesia, di saat saya masih asyik dengan soundtrack drama Korea yang membuat saya berkhayal bisa
bertemu dengan para pemainnya, terjadi gelombang dorong-dorongan yang luar
biasa digerbong yang saya naiki (gerbong wanita buntut Bogor kami menyebutnya),
yang dalam hitungan beberapa detik membuat tubuh saya yang belum siap menerima
gelombang puluhan Ibu-ibu panikan yang berteriak histeris, terbawa arus. Tidak
ada tenaga untuk menghindari gelombang dorong-dorongan tersebut. Belum selesai
dengan kaget karena gelombang dorong-dorongan yang membuat saya tiba-tiba sudah
ada di pintu keluar gerbong, saya dikagetkan kembali dengan teriakan ibu-ibu “Apiii”,
glek! Saya yang sudah hilang tenaga menengok ke arah gerbong masinis, dan terlihat
asap sudah mengepung dan sedikit percikan api.
Posisi kami
masih sangat dekat dengan asap dan percikan api tersebut, membuat semua
penumpang mendorong semakin kencang untuk menyelamatkan diri masing-masing
tanpa memikirkan orang lain. Saya? Saya bengong melihat puluhan penumpang
wanita saling mendorong dan berteriak menuruni tangga peron untuk menyelamatkan
diri. Saya? Saya ingin menyelamatkan diri, tapi bingung karena menceburkan diri
ke dalam manusia yang sedang panik dan saling mendorong hanya akan menimbulkan petaka
baru.
Badan saya
gemetaran! Beruntung di samping saya ada mba-mba yang mungkin merasakan
kepanikan yang sama seperti saya dan tidak tahu harus berbuat apa. Saya pegang
tangan dia, gerakan spontan yang membuat saya merasa lebih tenang karena saya
tidak sendirian. Sesaat kemudian, baru saya sadari ada bapak-bapak yang baik
hati menjaga saya dan mba-mba tadi agar tidak terkena arus dorongan untuk yang
kedua kalinya, dan terus meneriakan kata-kata positif, “Tenang, semuanya
tenang. Turunnya pelan-pelan!”. Saya lemes dan gemetaran, kalau bukan ditempat
ramai, mungkin sudah ditambah nangis.
Beberapa menit
kemudian, Bapak-bapak yang sayangnya belum sempat saya berikan ucapan terima
kasih, membuka jalan untuk saya dan mba-mba yang juga saya lupa tanya namanya
(ya iyalah, ini bukan momen konser yang pas untuk berkenalan), membuat saya
bisa keluar dari Stasiun UI yang saat itu semakin tipis oksigen karena
manusia-manusia panik tadi.
Saya duduk,
badan lemas dan masih gemetaran.
Saya diam lama
sekali, ngga berbuat apa-apa, menenangkan diri sendiri.
Sejujurnya saya
ingin nangis sejadi-jadinya, kejadian singkat tadi membuat saya syok berat. Di
sisi lain, saya ingin menangis karena saya merasa bersyukur masih diberikan
perlindungan oleh Allah SWT. Beberapa orang saya lihat jatuh dan mungkin
terinjak. Saya? Saya hanya kaget dan Alhamdulilah selamat tanpa cidera apapun.
Kepala saya
yang kebanyakan diisi drama korea mulai memutar skenario. Bagaimana kalau
kejadian asap dan percikan api itu terjadi ketika kereta sedang jalan dan tidak
ada jalan keluar. Bagaimana kalau tadi saat adegan dorong-dorongan saya jatuh
dan terinjak. Bagaimana kalau kejadian asap dan api lebih dahsyat dari yang
baru saya alami dan saya tidak bisa apa-apa dan terjebak di dalamnya. Dan
beberapa scenario lain yang membuat saya berucap Alhamdulilah karena saya masih
diberikan selamat dan tidak kurang satu apapun kecuali satu, kurang percaya
untuk naik commuter line di gerbong
wanita.
Alhamdulilah
saya masih diberi selamat, masih diberi hidup. Kejadian super singkat tadi
mengingatkan saya kembali bahwa kita manusia tidak punya apa-apa, dan apa-apa
yang dititipkan (termasuk nyawa dan seluruh anggota tubuh ini) bisa secepat
kilat diambil. Lalu apa? Masih mau ngga bersyukur?
Pagi ini saya
terus berlari, menyelesaikan target lari hari ini, tiga putaran Setu Cilodong, Jogging Track baru yang saya temukan
pagi ini. Dalam benak saya, mungkin saja saat saya menyelesaikan putaran ketiga,
waktu hidup saya selesai. Berpikir begitu, membuat saya sadar tidak ada alasan
untuk menyia-nyiakan detik hidup untuk hal yang tidak bermanfaat dan mudharat.
Semoga Allah SWT senantiasa menuntun hati kita untuk selalu mengingatNya, jadi
ketika waktu hidup habis, kita meninggal dalam RahmatNya, bukan jauh dariNya.
Amin