“Hidup, kala hilang esensinya, ya
seperti ini, ndukk…”, perkataan Mbok Yah kemarin malam masih menggema di
telinga, mengalahkan bising yang tercipta dari rentetan panjang klakson mobil,
motor, metro, yang telah kehabisan sabar akibat macet yang memaksa pengemudinya
bertahan di tengah himpitan kendaraan beroda yang tidak berhenti mengeluarkan karbon,
ditambah sekarang, repetan klakson yang sepertinya sukses menaikkan suhu tubuh
mereka. Panas luar dalam. Mungkin hujan dirindukan malam ini.
Aku berjalan pelan menuju Stasiun
Sudirman. Malam ini, aku ingin berjalan lebih lama, menikmati detail
pemandangan yang disuguhkan alam di sepanjang trotoar paling nyaman se-Jakarta
ini. Lampu-lampu jalan yang cahayanya memendar indah, gedung pencakar langit
yang bercahaya kuning – gedung yang semasa sekolah dulu diidam-idamkan menjadi
tempatku mencari nafkah, dan sekarang dirasa menjadi penjara mewah yang tidak
hanya memenjarakan ragaku, tapi juga jiwaku- , memandangi langit yang mulai
menjadi pekat, berharap menemukan bintang jatuh melesat dari angkasa sana,
memotret hidup yang tidak pernah kucicipi lewat amatan terhadap manusia-manusia
yang berseliweran di sepanjang trotoar, menghirup udara malam yang mungkin
tidak bisa seintim ini dilakukan di malam-malam lainnya, karena deadline yang mematikan. Hanya ingin
menikmati malam ini sebaik mungkin sebelum semuanya berakhir, syukur-syukur
bisa menemukan esensi hidup seperti yang Mbok Yah katakan semalam, esensi hidup
yang sepertinya telah hilang bentuk karena perputaran hidup yang membosankan,
menyisakan lubang kosong dalam hati, hampa.
***
Malam kemarin…
Malam itu Mbok Yah menemukanku
duduk di ruang tengah sendirian sambil memandangi laptop yang tidak menampilkan
apa-apa, kecuali Biru screensaver
yang membosankan, mirip hidupku saat ini. Asisten rumah tangga yang sudah
mengabdi sepuluh tahun terakhir itu bertanya apakah ada yang bisa dibantu lagi
sebelum dia pergi tidur. Aku menggeleng lemah. Mbok Yah, masih berdiri di
tempat yang sama, meskipun aku telah menggelengkan kepala berulang kali.
Perempuan paruh baya itu malah menghampiri tempatku duduk, ikut duduk di
sampingku, kemudian kedua tangannya menyentuh tanganku dengan lembut, hangat
menjalar spontan, menyenangkan.
“Kamu, mau cerita sesuatu sama si
Mbok, Cah Ayu?”, Mbok Yah, sepertinya menangkap ada sesuatu yang mengganggu
pikiranku, sesuatu yang membuatku terduduk lemas memandangi laptop yang tidak
menampilkan apa-apa sejam belakangan, dan menolak tawaran Mbok Yah dengan
gelengan lemah, semuanya di luar kebiasaanku. Mbok Yah, meskipun tidak memiliki
ikatan darah dengan keluarga kami, dapat begitu mengerti satu per satu
kedalaman sifat dan sikap tuannya, perbedaan sikap dapat ditangkapnya menjadi
sinyal pertanda tidak baik dari si-tuan. Seperti malam ini, Mbok Yah mampu
menangkap sinyal itu dariku.
Mbok Yah menanti jawaban yang tak
kunjung meluncur dari mulutku dengan sabar. Tangannya membelai rambutku dengan
lembut, persis yang dilakukannya kepada Sri, anak semata wayangnya yang telah
meninggal setahun kemarin karena penyakit syaraf kronis. Perempuan paruh baya
itu bahkan tidak pernah mengerti nama penyakitnya, dia hanya mengerti, apa yang
menimpa anak gadisnya itu adalah takdir Gusti Allah yang tidak bisa ditawar.
Apalagi yang bisa dilakukan olehnya kecuali menyambut takdir dengan penerimaan
yang baik, ungkapnya saat itu. Mungkin, penerimaannya yang baik terhadap hidup
dan takdir lah yang membuatnya menjadi seperti saat ini, sosok hangat yang
menyenangkan. Berada di dekatnya membuatku merasa nyaman.
“Mbok Yah… “, tanyaku lirih
“Ya, Ndukk…”, Mbok Yah
membenarkan posisi duduknya, seolah bersiap menerima curahan cerita yang telah menggulung
semangatku beberapa waktu ini. “Ada yang mengganggu pikiran kamu kah?”,
tanyanya lagi.
Aku mengangguk lemah.
“Kamu bisa cerita sama si Mbok-mu
ini, meskipun ndak bisa kasih kamu bantuan apa-apa, paling ndak kamu bisa lebih
plong…”, matanya sekarang menatap kedua mataku, meyakinkanku bahwa semua akan
baik-baik saja.
“Mbok tahu kan, ayah dan ibu
ingin aku cepat menikah, dan mereka sudah menjodohkanku dengan anak teman
mereka…”, Mbok Yah tersenyum.
“Aku belum siap Mbok…”,
sepertinya ada yang menggelinding dari hatiku sesaat setelah kalimat itu
diucapkan, meskipun hanya kepada Mbok Yah, bukan kepada ayah dan ibuku, nyaliku
terlalu kerdil untuk bisa mengatakan hal tersebut kepada orang tuaku sendiri.
Dan aku merasa satu kilogram bebanku terangkat. Sisanya? Entahlah.
“Mbok tahu? Selama ini aku selalu
patuh pada perintah ayah dan ibu. Tentang apa yang harus aku kerjakan, tentang
apa yang tidak boleh aku kerjakan, dengan siapa aku harus bergaul, cita-cita
mana yang baik untukku, sekolah mana yang menurut mereka sangat mumpuni untuk
mendukung cita-cita yang sesungguhnya aku tidak mengerti, mumpuni untuk siapa,
untukku atau untuk mereka?”, satu kilogram lagi bebanku meluncur bebas dari
hati.
“Bahkan ketika aku sudah lulus
kuliah pun, yang aku kira di titik tersebut aku bisa hidup dengan pilihanku
sendiri, mereka masih saja “mengarahkanku”-katanya, kemana aku harus
melangkah..”
Mbok Yah, menyimak satu per satu
kalimatku dengan seksama, mata jernihnya menatap mataku yang sekarang mengarah
acak dari satu sudut ke sudut lain.
“Aku bisa terima dengan semua
perlakuan mereka, dan aku menjalaninya dengan seriang mungkin. Dulu, sebagai
anak kecil, aku senang diarahkan. Beranjak remaja, ada sisi hati yang meronta
saat mereka menjunjuk satu per satu hal baik sesuai penilaian mereka. Setelah
dewasa, separuh hatiku menolak perlakukan mereka, sebagian lagi tidak tega…”,
ada yang menggantung di mataku, siap jatuh, namun kutahan.
“Aku tidak ingin menyakiti hati
keduanya, di sisi lain aku lelah hidup seperti ini, Mbok…”, pertahananku kalah,
aku terisak.
“Ada lubang dalam hati yang sekarang
menganga, mencipta ruang hampa yang membuatku sesak…”, isakku semakin kencang.
“Aku lelah…”, Mbok Yah memelukku
erat, mentransfer energinya ke tiap sel tubuh yang mulai meringis nyeri. Cukup,
tidak perlu lagi kata-kata penyejuk dari mulutnya, pelukan ini sudah lebih dari
cukup untuk membantuku meredakan gemuruh dalam hati. Pelukan Mbok Yah mulai
meregang saat tangisku reda.
Mbok Yah membantuku menghapus
sisa-sisa air mata yang membentuk cap di pipi. Perasaanku sudah jauh lebih baik
sekarang.
Hening menggelayuti kami berdua.
Hening itu pecah saat Mbok Yah mulai bersuara.
“Rinai…kamu tahu apa yang membuat Mbok Yah
bisa bertahan hidup sampai detik ini meskipun keluarga Mbok Yah sudah meninggal
semua?”, malam itu, Mbok Yah, orang yang paling jarang berbicara di rumah kami,
bagian paling penting yang mengatur urusan rumah tangga keluargaku selama sepuluh
tahun terakhir, mulai bercerita tentang dirinya, berharap satu dua pengalamannya
bisa memberiku inspirasi.
“Hidup itu anugerah dari Gusti
Allah… setiap orang punya porsi masing-masing dalam hidupnya. Mbok Yah sadar,
porsi hidup yang Gusti Allah berikan untuk Mbok Yah, ya seperti ini… Mbok Yah cuma
berpikir bagaimana menjalani porsi hidup yang sudah diberikan sebaik mungkin.
Ini bentuk penerimaan Mbok Yah terhadap hidup, terhadap takdir..”, Mbok Yah,
menarik nafas panjang.
“Menerima hidup, berarti menerima
semua konsekuensi yang dihadirkannya…dulu, saat Mbok Yah seumur kamu, Mbok Yah
pernah hampir bunuh diri… Rasanya lelah hidup susah, adik Mbok Yah ada banyak
dan semuanya butuh biaya. Kekurangan jadi teman Mbok Yah setiap hari. Mbok Yah malu,
capek, lelah, hampa….”
Mbok Yah, tersenyum, matanya
mengarah acak ke berbagai sudut ruang tengah, berharap menemukan masa lalunya
di sana.
“Hidup, kala hilang esensinya, ya
seperti ini, ndukk…”
“Hampa… kosong… menjalani hari
seperti robot, hanya menjalani kewajiban sebagai manusia untuk hidup. Kalau
sudah begitu, untuk apa lagi kita hidup? Makanya, Mbok Yah pernah nekad mau
terjun dari Jembatan kampung. Untungnya ga jadi, karna kalau sampe kejadian,
amit-amit…”, Mbok Yah menepuk-nepuk perutnya berulang kali, seolah gerakannya
itu dapat menjadi tameng dari hal-hal buruk yang mungkin akan menimpanya.
“Kenapa Mbok Yah, ga jadi terjun
dari jembatan kampung?”, tanyaku penasaran.
“Mbok Yah ketemu sama Si Rah,
adik Mbok Yah nomer tiga. Dia meringis sambil terus memegang perutnya… Si Rah
langsung lari ke arah Mbok Yah yang sedang berdiri di Jembatan, memeluk Mbok
Yah…”
“Mbak Yah, Rah lapar…”, teriaknya
begitu. Mbok Yah seperti ditampar saat itu. Kalau Mbok Yah mati, siapa
yang akan bantu bapak dan si-mbok untuk cari makan? Siapa yang akan menjaga
adik-adik mbok yang berentet itu? Bagaimana perasaan bapak dan si mbok kalau
sampai menemukan anak gadisnya, anak sulungnya mati tenggelam di sungai karena
bunuh diri?”
“Mbok Yah, peluk Rah rapat-rapat,
kemudian membawanya pulang… rencana bunuh diri Mbok Yah gagal total…”, Mbok Yah
terkekeh mengingat masa lalunya itu. Aku ikut tersenyum melihat tertawanya si
Mbok yang lepas.
“Saat membawa Rah pulang, yang
Mbok pikirkan hanya bagaimana menjaga Bapak, Ibu, dan adik-adik si Mbok supaya
bisa hidup senang. Senang menurut Mbok saat itu, cukup melihat mereka bisa
makan dan minum tiga kali sehari…”
“dan di situlah titik balik Mbok…
mulai menerima hidup dan takdir dengan penerimaan yang baik. Saat esensi hidup
ditemukan, saat tujuan itu ditentukan, maka hidup yang dijalani tidak lagi
sama, Rinai…”
“Ada energi untuk melangkah,
seberat beban yang ada di pundak…”
“Hidup, kala hilang esensinya, ya
seperti ini, ndukk… hampa”
“dan kamu mesti bertanya ulang
kepada hatimu sendiri tentang esensi hidup yang kamu cari…”, Mbok Yah menatap
mataku dalam, kembali meyakinkanku semua akan baik-baik saja.
“dan…”, Mbok Yah menambahkan
“sampaikan apa yang mau kamu
sampaikan kepada ayah dan ibumu dengan penyampaian yang baik… si Mbok yakin,
setebal apapun dinding yang melintasi inginmu dan ingin keduanya, akan terlewati…”,
si Mbok tersenyum, kemudian menyentuh tanganku dengan lembut, gerak tubuh tanda
simpat yang memberi efek menyenangkan. “sampaikan apa yang mengganjal di hati
mu cah ayu…”, katanya menutup pembicaraan kami malam itu.
***
Sudah hampir setengah jam aku
berjalan di trotoar ini. Klakson mobil dan motor saling beradu. Pengemudi motor berteriak-teriak tidak sabar ingin segera maju. Karyawan seusiaku berjalan terburu-buru. Sepasang muda-mudi bercengkrama dengan aroma merah
jambu. Pedagang asongan yang masih bisa tersenyum di balik pekatnya malam
dengan penerangan seadanya. Peminta-minta tua yang dari mulutnya penuh doa.
Tukang ojek dengan muka masamnya menanti penumpang. Kondektur bis yang
tersenyum menggoda mbak-mbak dengan rok mini. Grup pengamen dengan biola,
gitar, dan harmonikanya, yang berorkestrasi di tengah hiruk pikuk jalanan
Sudirman, salah seorang dari mereka sepertinya berperan sebagai pemimpin,
bergaya seolah dia ada konduktur orchestra ternama yang saat ini sedang
memainkan harmoni hidup, kombinasi biola, gitar, harmonika, dan hiruk pikuk
jalan yang membentuk komposisi nada, “ do re mi fa so la ti do dan oooo…….”.
“hooo…… tahukah engkau, ini hatiku… ini jiwaku… tak mungkin dapat ku
berpaling…. Ini diriku… ini hidupku… dapatkah kau? Mendengarnya….”,
lengkingan suara pengamen berdengung ditelinga, bercampur dengan klakson, cacian,
dan dingin malam yang mulai merambati tubuh.
Esensi hidup itu, belum kutemukan
malam ini… Tapi paling tidak, aku bisa mengecap malam ini, dengan cara berbeda.
Sudirman, 26 January 2013
Rinai